Kultum
1 September 2009
اَلْحَمْدُ
لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ
قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
Dasar
diwajibakannya PUASA RAMADHAN (1)
Puasa
Ramadhan itu hukumnya wajib, berdasarkan Kitab, Sunnah dan Ijma’. Dasar dari
kitab adalah firman Allah Ta’ala yang artinya : “Hai orang-orang beriman, diwajibkan atasmu berpuasa sebagamana telah
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, semoga kamu bertaqwa.” (Al-Baqarah:
183).
Dan
firmanNya pula artinya : “Yakni pada
bulan Ramadhan, yaitu saat diturunkannya Al-Qur’an yang menjadi petunjuk bagi
manusia dan penjelasan dari pedoman serta pemisah - antara yang hak dan yang
batal -. Maka barangsiapa yang berada di tempat pada bulan itu, hendaklah ia
berpuasa!” (Al-Baqarah: 185).
Sedangkan
menurut sunnah, Nabi s.a.w. bersabda :
“Didirikan
Islam atas lima dasar, yaitu : mengaku bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan bahwa
Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa pada bulan
Ramadhan dan naik haji.”
Dan
pada hadits Thalhah bin ‘Ubeidillah tersebut bahwa seorang laki-laki bertanya
kepada Nabi saw yang artinya : “Ya Rasulullah, katakanlah kepadaku puasa
yang diwajibkan Allah atas diriku!” Ujar Nabi saw. : “Puasa Ramadhan.” Tanya
laki-laki itu pula : “Apakah ada lagi yang wajib atasku ?” Ujar Nabi : “Tidak,
kecuali kalau anda berpuasa sunat”.
Dan
umat Islam telah ijma’ atas sekata atas wajibnya puasa Ramadhan, dan bahwa ia
merupakan salah satu di antara rukun Islam. Hal itu dapat diketahui dari ajaran
agama secara daruri dengan usah dipikirkan lagi, hingga orang yang
mengingkarinya berarti kafir dan murtad dari Islam.
Mulai
diwajibkannya, ialah pada hari Senin tanggal 2 Sya’ban tahun kedua hijriyah. Keutamaan
Bulan Ramadhan Dan Keistimewaan Beramal Padanya diantaranya:
1. Diterima dari
Abu Hurairah bahwa Nabi s.a.w. bersabda : - yakni ketika telah datang bulan
Ramadhan beliau bersabda yang artinya : “Sungguh,
telah datang padamu bulan yang penuh berkah, di mana Allah mewajibkan kamu
berpuasa, di saat dibuka pintu-pintu surga, ditutup pintu-pintu neraka dan
dibelenggu setan-setan, dan dimana dijumpai suatu malam yang nilainya lebih
berharga dari seribu malam. Maka barang siapa yang tidak berhasil beroleh
kebaikannya, sungguh tiadalah ia akan mendapatkan itu buat selama-lamanya”. (Riwayat
Ahmad, Nasa’i dan Baihaqi).
2. Diterima
dari ‘Arfajah, katanya: “Suatu ketika saya berada di rumah ‘Atabah bin Farqad -
kebetulan ia sedang membicarakan puasa Ramadhan - kebetulan masuk seorang
laki-laki, salah seorang sahabat Nabi s.a.w. Melihat laki-laki itu ‘Atabah
menaruh hormat padanya dan diam. Tamu itupun menyampaikan hadits tentang
Ramadhan, katanya : “Saya dengan Rasulullah s.a.w. bersabda mengenai Ramadhan yang
artinya : “Pada bulan itu ditutup
pintu-pintu neraka, dibuka pintu-pintu surga dan dibelenggu setan-setan”. Ulasnya
lagi : “Dan seorang Malaikat akan berseru : “Hai pencinta kebaikan,
bergembiralah ! Dan hai pencinta kejahatan, hentikanlah!” Sampai Ramadhan
berakhir”. (Riwayat Ahmad dan Nasa’i dan sanadnya baik).
3. Diterima dari Abu Hurairah bahwa Nabi s.a.w.
bersabda yang artinya : “Shalat yang lima
waktu, Jum’at ke Jum’at, dan Ramadhan ke Ramadhan berikutnya menghapuskan
kesalahan-kesalahan yang terdapat di antara masing-masing selama kesalahan
besar dijauhi”. (Riwayat Muslim).
Kultum 2 September 2009
اَلْحَمْدُ
لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ
قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
Dasar
diwajibakannya PUASA RAMADHAN (2)
Dan dalam hadits
lain disebutkan tentang wajibnya puasa sebagai berikut:
4. Dan dari Abu Sa’id al-Khudri r.a. bahwa Nabi
s.a.w. bersabda yang artinya : “Barangsiapa
berpuasa pada bulan Ramadhan dan mengetahui batas-batasnya, dan ia menjaga diri
dari segala apa yang patut dijaga, dihapuskanlah dosanya yang sebelumnya.” (Riwayat
Ahmad, Baihaqi dengan sanad yang baik).
5. Dan diterima
dari Abu Hurairah, katanya : “Telah bersabda Rasulullah s.a.w. yang artinya:
“Siapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan karena
keimanan dan mengharapkan keridhaan Allah, akan diampuni dosa-dosanya yang
terdahulu.” (Riwayat
Ahmad dan Ash-habus Sunan).
Ancaman Bagi
Yang Berbuka tanpa ada alasan di Bulan Ramadhan:
1. Diterima
dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda yang artinya : “Ikatan Islam dan sendi agama itu ada tiga,
di atasnya didirikan Islam dan siapa yang meninggalkannya salahsatu di
antaranya, berarti ia kafir terhadapnya dan halal darahnya : mengakui bahwa
tiada Tuhan melainkan Allah, shalat fardhu dan puasa Ramadhan.”
(Diriwayatkan
oleh Abu Ya’la dan Dailami, serta dinyatakan sah oleh Dzahabi).
2. Diterima
dari Abu Hurairah bahwa Nabi s.a.w. bersabda yang artinya : “Siapa yang berbuka pada satu hari dari
bulan Ramadhan tanpa keringanan yang diberikan Allah padanya, tiadalah akan
dapat dibayar oleh puasa sepanjang masa walau dilakukannya.” (Riwayat Abu
Daud, Ibnu Majah dan Turmudzi).
Berkata Bukhari
: “Ada pula disebutkan dari Abu Hurairah secara marfu’: “Siapa yang berbuka
pada satu hari dari bulan Ramadhan tanpa ‘udzur atau sakit, maka tidaklah akan
terbayar oleh puasa sepanjang masa walau dilakukannya.” Dan ini juga menjadi
pendapat Ibnu Mas’ud. Berkata Dzahabi : “Dan bagi kaum Mukminin telah
menjadi ketetapan bahwa orang yang meninggalkan puasa Ramadhan tanpa sakit,
adalah lebih jelek dari pezina dan pemabuk, bahkan mereka diragukan keislamannya
dan dincurigai sebagai zindik dan tanggal dari agamanya”.
Kultum 3 September 2009
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ
وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
Beberapa Hikmah Ramadhan
Berbahagialah kita
yang diberi umur untuk menjumpai Bulan Ramadhan, Bulan penuh Rahmat, Ampunan
dan Pembebasan dari Api Neraka. Berikut Hikmah Bulan Ramadhan dirangkum dari
Hidayatullah. Com :
1. Jalan menuju ketaqwaan. Allah
berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian puasa
sebagaimana diwajibkan atas kaum sebelum kalian, agar kalian bertaqwa”.
(al-Baqarah: 183). Dalam penafsiran Imam al-Qurthubi, yang berpatokan kepada
hadits riwayat Imam Ahmad bahwa puasa itu adalah perisai.
2. Bulan peningkatan amal
(mujahadah). Seperti para ulama’ salaf seperti Imam Asyafi’i, menyebutkan bahwa
dalam bulan Ramadhan beliau menghatamkan Al-Quran 2 kali dalam semalam, dan itu
dikerjakan di dalam shalat, sehingga dalam bulan Ramadhan beliau menghatamkan
Al-Quran 60 kali dalam sebulan. Imam Abu Hanifah juga menghatamkan Al-Quran 2
kali dalam sehari selama Ramadhan.
3.
Menumbuhkan sifat amanah dan muraqabah di hadapan Allah Ta’ala,
baik dengan amalan yang nampak maupun yang tersembunyi. Amalan seorang muslim
didasari oleh kesadaran sendiri (mandiri) tidak ada yang mengawasi seseorang
yang berpuasa.
4.
Melatih kedisiplinan karena seorang yang harus makan dan minum
dalam waktu yang terbatas. Bahkan dalam berbuka puasapun harus disegerakan.
5.
Menumbuhkan rasa solidaritas sesama muslim karena semua umat
Islam, dari timur hingga barat diwajibkan untuk menjalankan puasa. Sehingga sama-sama
merasakan lapar dan dahaga dalam waktu yang sama dan dapat merasakan beratnya
penderitaan saudara-saudaranya yang kekurangan, sehingga tumbuh perasaan kasih
sayang pada mereka orang yang lemah.
6.
Melatih kesabaran, dimana pada siang hari kita diperintahkan
meninggalkan perbuatan yang mengurangi nilai puasa. Maka saat ada seseorang
mengganggu kita. Rasulullah Saw. bersabda: “Bila seseorang menghina atau
mencacinya, hendaknya ia berkata “Sesungguhnya aku sedang puasa” (HR.
Bukhari)
7.
Menjadi sehat sebagaimana Rasulullah bersabda: ”Berpuasalah,
maka kamu akan sehat” (HR. Ibnu Sunni), Al Harits bin Kaldah, tabib Arab
yang pernah mengabdi kepada Rasulullah Saw. juga pernah menyatakan: “Lambung
adalah tempat tinggal penyakit dan sedikit makanan adalah obatnya”.
8.
Lailatul Qadar. Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al Muwatha’,
dia telah mendengar seorang ahlul ilmi mengatakan: “Sesungguhnya telah
diperlihatkan usia-usia umat sebelumnya kepada Rasulullah Saw., atau apa yang
telah Allah kehendaki dari hal itu, dan sepertinya usia umat beliau tidak mampu
menyamai amalan yang telah dicapai oleh umat-umat sebelumnya, karena itu maka Allah
memberi ummat beliau Lailatul Qadar yang lebih baik daripada 1000 bulan.”
(HR. Malik).
9.
Bulan ampunan, Rasulullah Saw. bersabda: “Dan siapa yang
berpuasa Ramadhan dengan didasari keimanan dan pengharapan ridha Allah,
diampunkan untuknya dosa yang telah lalu.” (HR. Bukhari).
10.
Terbebas dari adzab, Rasulullah Saw. bersabda: “Pada bulan
Ramadhan umatku dianugerahi lima perkara yang tidak diberikan kepada nabi-nabi
sebelumku. Yang pertama, sesungguhnya jika Allah melihat mereka di awal malam
dari bulan Ramadhan, dan barang siapa yang telah dilihat Allah maka Ia tidak
akan mengadzabnya selamanya…” (HR. Baihaqi).
Kultum 4 September 2009
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ
وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
MEMBANGUN
SUPREMASI HATI NURANI
Tujuan
utama puasa Ramadhan adalah terciptanya manusia muttaqin sebagaimana firman
Allah : “Wahai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian puasa sebagaimana diwajibkan
atas kaum sebelum kalian, agar kalian bertaqwa”. (QS.2/al-Baqarah:183).
Manusia
terdiri dari unsur jasmaniah dan rohaniah. Unsur rohaniah adalah unsur yang
paling menentukan bagi keberhasilan kehidupan sesorang, karena semakin tinggi
nilai kerohaniahan tersebut akan semakin sempurna kemanusiaannya, karena ia
lebih mudah memimpin hati nuraninya kearah yang lebih baik.
Dalam
al-Qur’an, Allah lebih banyak memanggil manusia dengan kata “insan” seperti
dalam terdapat dalam kalimat “Ya ayyuhal insan”. Sehingga secara
leterleks, kata “insan” berarti
sebutan pada manusia yang menunjukkan sikap yang masih adanya sifat-sifat yang rendah,
kurang terpuji, kualitas kepribadian rendah dan lalai pada diri manusia. Maka ketika
Allah menyebutkan kata insan, berarti sebutan itu adalah sebutan umum, bisa
kepada manusia yang baik atau manusia yang jahat. Hanya yang membedakan manusia
yang satu sama yang lainnya adalah hati. Semakin baik hatinya semakin sempurnalah
kemanusiaannya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw : “Didalam diri manusia ada segumpal “daging” bila ia baik maka akan
baiklah segala aktifitas manusia itu, dan bila ia buruk, maka akan buruklah
segala prilaku manusia itu. Itulah hati” (al-Hadis).
Apabila
hati nurani seseorang tidak berfungsi dalam menapaki jalan kehidupannya,
seringkali prilakunya menjadi sangat rendah, yang menyebabkannya turun dari
makhluk spiritual yang beradab menjadi manusia materialistik dengan segala
kekacauan yang ditimbulkannya.
Kita
tidak memungkiri berbagai keberhasilan dan keberkatan yang telah dianugerahkan Allah
kepada bangsa Indonesia, hanyalah nikmat sementara, dan tanpa disengaja secara dramatis
capaian pembangunan selama 30 tahun mengalami keguncangan akibat krisis yang
dihadapi bangsa ktia, yang membuat seakan hasil pembangunan yang kita nikmati, tidak
lagi dapat diandalkan.
Boleh
saja kita menyebutkan berbagai faktor yang menyebabkannya, namun dalam pandangan
Islam, pada umumnya problem krisis yang dihadapi suatu masyarakat yang
mengalami krisis, termasuk masyarakat Indonesia, bermuara pada persoalan tidak
berfungsinya hati nurani ditengah kehidupan sebagian besar anggota
masyarakatnya.
Tidak
berfungsinya hati nurani dapat mengakibatkan problema sosial di sana-sini,
diantaranya krisis akhlak dan etika dalam
segenap aspek kehidupan, hilangnya etika politik, praktek kezhaliman di
sana-sini, menyebabkan garis perjuangan sebagian masyarakat bergeser dari
perjuangan untuk kesejahteraan rakyat menjadi perebutan kekuasaan untuk
kepentingan kelompok.
Diabaikannya
amanah yang kemudian dapat menyebabkan munculnya tindakan kolusi dan nepotisme.
Sementara di kalangan intelektual dapat pula menyebabkan menggejalanya sikap mutathaffiFin, memproduk keputusan dan
gagasan untuk kepentingan orang-orang dan kelompok tertentu saja, bukan untuk
kemashlahatan umum.
Kultum
5 September 2009
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ
وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
PUASA MENGIKIS
SIKAP INDIVIDUALISTIK
Sikap
individualistik biasa terjadi di kota-kota besar, yang sering kita kenal dengan
istilah “siapa lu siap gue” yang
ditandai dengan pudarnya rasa tolong menolong dan ketidak tulusan hati dalam
memberi pertolongan.
Penyebabnya
adalah dikarenakan hati nurani yang tidak berfungsi. Oleh karenanya seorang
berbuat karena dimotivasi di luar hati nurani atau imitatif misalnya “karena ada maunya”. Menolong bukan karena hati nurani melainkan demi
kepentingan yang diharapkan sebagai balasan. Sehingga akibatnya kehidupan
masyarakat menjadi kehilangan berkah dari Allah ta’ala.
Keberkahan
itu menurut Thabthaba’iy adalah khair al-ilahy (bersifat spiritual), yang biasa
ditandai dari kehandalan generasi muda, tercapainya efisiensi dan efektifitas,
kepemimpinan, dan kualitas pembangunan. Sebagaimana firman Allah : “Jika
sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya”. (QS.7/al-A’raf : 96).
Kehilangan
keberkahan ditandai dengan ambruknya nilai-nilai dinamika perkembangan
masyarakat. Terjadinya kepincangan-kepincangan sosial, maraknya perbuatan-perbuatan
yang melanggar hukum dan perampasan hak orang lain. Akhirnya timbullah kekacauan
dan kehancuran dalam masyarakat.
Masyarakat
perlu melakukan taubat dalam kehidupannya dengan cara pembangunan supremasi
hati nurani. Salah satu beban berat yang mengganjal manusia yaitu dosa. Sebab
dosa merupakan beban berat yang menghalangi manusia berubah kearah yang lebih
baik. Sebagaimana sabda Rasulullah : “Seseorang
jika melakukan kesalahan, akan ditorehkan titik hitam dalam hatinya. Namun jika
ia sadar dan bertaubat, titik noda hitam tersebut akan dihilangkan” (al-Hadis).
Sering
kita bertanya, mengapa sebagian masyarakat sulit diubah kearah yang baik,
jawabannya sering kali mengedepankan soal sistem dan metodologi yang salah arah.
Padahal boleh jadi disebabkan hati nurani yang tidak berfungsi karena ternoda
dengan dosa yang seringkali juga menjadi dosa kelompok.
Untuk
itu perlu dibangun kekuatan hati nurani agar tercipta masyarakat madani dengan
memanfaatkan momentum puasa. Salah satu ibadah penting dalam ibadah puasa adalah
taubat dalam arti kata kembali atau pulang ke jati diri sebagai manusia termulia
yang diciptakan Allah. Sebab pada hakekatnya manusia muslim itu adalah
sebaik-baik ummat diantara manusia lainnya. Firman Allah ta’ala yang artinya: “Kamu
adalah sebaik-baik ummat yang diperuntukkan bagi segenap manusia”.
Kultum
6 September 2009
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ
وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
NUZULUL QUR’AN
Anugerah Ilahi yang terbesar kepada manusia adalah
bahwa Allah telah mengajarkan manusia kitab Al-Qur’an. Sebagaimana firman Allah
: “ Allah Maha Pengasih, yang telah mengajarkan Al-Qur’an” (Q.S.
55/al-Rahman : 1,2).
Dengan demikian, meskipun Al-Qur’an diterima oleh
nabi Muhammad Saw dari Allah, namun peristiwa turunnya AL-Qur’an sangat
dirasakan oleh beliau bersama para sahabat yang ‘arif bijaksana ketika itu.
Bahkan sebenarnya Al-Qur’an tidak hanya merasuk ke dalam hati kaum muslimin
generasi pertama dimasa Rasul, dan kaum muslimin dimasa kini. Bahkan peristiwa
Al-Qur’an juga dirasakan oleh mereka yang ingin mencari kebenaran baik dari
golongan muslim maupun non muslim.
Al-Qur’an telah memproklamirkan dirinya sebagai berikut:
1. Al-Qur’an menyebut
dirinya sebagai penyembuh (syifa’un), ini mengisyaratkan bahwa ada kondisi
kurang sehat sebelumnya sehingga perlu mendapatkan kesembuhan dari al-Qur’an.
Baik itu disebabkan penyakit sosial yang dialami masyarakat secara luas, maupun
penyakit pribadi secara rohani yang dialami seseorang.
2. Al-Quran menyebutkan bahwa dirinya adalah petunjuk bagi orang yang
bertaqwa (hudan lil muttaqin), Kekeliruan manusia akan hilang bila ia
mengikuti petunjuk al-Qur’an.
3. Dengan
menyadari dua hal di atas, maka untuk menghayati nuzul al-Qur’an (momentum
turunnya Al-Qur’an) dalam konteks zaman sekarang ini, berarti kembali meraih Laylatul
Qadrsehingga memunculkan kesadaran yang tulus dari seseorang yang menemukannya.
Turunnya al-Qur’an secara garis besar mengajak
manusia untuk menyadari delapan hal yaitu :
1. Ketundukan Kepada Yang Maha Kuasa, yang teraplikasi dalam keimanan dan
ketaqwaan.
2. Perasaan, persamaan, kehormatan, dan persaudaraan umat manusia. Jadi
integritas manusia dalam satu perasaan kesatuan tanpa memandang perbedaan ras,
warna kulit, pangkat jabatan, atau status sosial lainnya.
3. Tumbuhnya sikap toleransi dalam kehidupan yang majemuk.
4. Kesamaan wanita dengan laki-laki dalam hal pelaksanaan amal ibadah.
5. Pembebasan dari segala jenis
perbudakan, kemiskinan dan eksploitasi.
6. Kewajiban menegakkan keadilan.
7. Menghancurkan kecongkakan dan kesombongan yang didasarkan pada
superioritas ras, warna kulit, kekayaan, dan kekuasaan.
8. Semuanya itu bisa terlaksana dengan dua syarat utama yaitu nilai
pendidikan universal yang didasarkan pada penguasaan ilmu pengetahuan, dan
ketundukan pada Yang Maha Kuasa.
Pokok-pokok ajaran yang dikedepankan Al-qur’an diatas
tampaknya baru dapat dilaksanakan dalam tatanan kehidupan, apabila didasarkan
pada tiga syarat pokok : (1). Penguasaan ilmu pengetahuan secara maksimal
dengan fungsionalisasi akal. (2). Penegakan keadilan. (3). Ketundukan dan
pendekatan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, dan ternyata ketiga syarat utama
ini telah ditekankan Tuhan dalam ayat pertama surat al-’Alaq.
Kultum
7 September 2009
اَلْحَمْدُ
لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ
قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
PUASA
MEMBENTUK PRIBADI MUSLIM YANG HANDAL
Dalam
sebuah hadis pernah dilukiskan Nabi bahwa iman seseorang masih barada dalam
kondisi telanjang jika belum diberi pakaian. Sedangkan pakaian iman tersebut
adalah ketaqwaan. Dilihat secara demikian maka pencapaian taqwa itu bukanlah
sekedar penyempurna keimanan, melainkan sebagai bagian yang integral dari
keimanan itu sendiri.
Kalau
jalan pikiran ini diikuti, maka tugas kita dalam menjalankan ibadah puasa
adalah menciptakan pakaian taqwa itu. Ibarat menenun pakaian, maka
ibadah-ibadah yang kita lakukan bulan Ramadhan, adalah bagai pengumpulan
benang-benang yang akan digunakan dalam menenun pakaian taqwa tersebut.
Selesai
melaksanakan ibadah puasa boleh jadi hasil tenunan seseorang, akan lebih baik
dan indah dari tenunan orang lain. Dan karena sesuatu dan lain hal boleh jadi
tenunan seseorang tidak dapat diselesaikannya sampai akhir Ramadhan.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW : “Berapa
banyak manusia yang tidak memperoleh apapun dari puasanya kecuali sekedar lapar
dan haus”.
Benang-benang
ketaqwaan kalau puasa diibaratkan bagai menenun pakaian taqwa, maka dapat
dilihat benang-benang apa saja yang kita gunakan dan bagaimana kita menggunakannya. Benang-benang tersebut antara
lain :
·
Menahan
diri (shiyam) dari segala tindakan-tindakan yang bertentangan dengan ketentuan
agama akan memunculkan pengendalian diri, melahirkan kejujuran dan anti
konsumerisme (tidak membeli diluar kemampuan) sehingga membuat seseorang hidup
sederhana.
·
Kondisi
lapar dan haus dengan segala konsekuensinya akan melahirkan rasa kepedulian
sosial pasca Ramadhan.
·
Ibadah
taraweh dan ibadah-ibadah lainnya akan meningkatkan keimanan dan ketauhidan
seseorang.
·
Sahur
dan buka puasa merupakan simbol dari kasih sayang. Kasih sayang sesama karena
sama-sama dalam kondisi lapar dan sama-sama makan dengan tujuan yang sama. Juga
merupakan simbol kasih sayang Tuhan. Sebagaimana hadis Nabi : “dalam sahur
itu ada barkah dan Allah akan menyayangi mereka yang melakukan sahur”.
Demikian juga dalam hadis Nabi yang lain disebutkan : “Barang siapa memberi
bukaan kepada orang lain, ia akan mendapat pahala seperti orang yang berpuasa
tanpa mengurangi sedikitpun pahalanya”.
·
Dengan
kondisi lapar dan haus, seorang muslim tetap memiliki semangat untuk melakukan
aktifitas sehari-hari. Ini merupakan simbol dari etos kerja dan kreatifitas
seorang Muslim dan juga merupakan simbol daya tahan kaum beriman dari segala
goncangan kehidupan. Dengan demikian puasa bukanlah merupakan ancaman bagi dunia
kerja, melainkan merupakan upaya untuk peningkatan produktifitas umat Islam.
Kultum
8 September 2009
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ
وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
Puasa UNTUK MENEGASKAN
Jati Diri Seorang Muslim di hadapan Tuhan
Terminologi
yang digunakan Islam untuk menyebut kepribadian Muslim paripurna adalah
muttaqin (orang yang bertaqwa), dan tampaknya taqwa itulah yang menjadi tujuan
ibadah puasa. Seperti yang difirmankan Allah SWT dalam surat al-Baqarat 183 : “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan
kepada kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu,
agar kamu menjadi orang yang bertaqwa” (QS. 2/al-Baqarah : 183).
Pada
sisi lain puasa dapat pula dilihat sebagai hubungan manusia yang sangat pribadi
dengan Tuhannya. Sebagaimana dalam sebuah hadis qudsi Rasulullah saw. menjelaskan
:
Allah Yang Maha Mulia berfirman : “Setiap perbuatan manusia akan dilipatgandakan
menjadi sepuluh kecuali amal puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku
sendiri yang membalasnya. Puasa merupakan perisai. Jika salah seorang dari kamu
sedang berpuasa hendaklah ia tidak berkata kotor dan berteriak keras (keras dan
kasar). Jika ada orang yang mencaci atau mengajakmu bertengkar maka hendaklah
dia menjawab : sesungguhnya aku sedang puasa, sesungguhnya aku sedang puasa” (Hadits)
Paling
tidak ada tiga nuktah yang dapat dipelajari dari hadis di atas.
Pertama, puasa adalah hubungan
manusia yang sangat pribadi dengan Allah, dan puasa adalah permintaan Allah
untuk-Nya (as-shumu lii), maka oleh sebab itu puasa haruslah
dilaksanakan dengan kualitas yang paling tinggi.
Kedua, puasa adalah
merupakan perisai (proteksi) manusia dari segala godaan dan kecenderungan untuk
berbuat salah dan melanggar perintah Allah SWT.
Ketiga, puasa adalah
simbol dari penegasan jati diri dan eksistensi keislaman seseorang. Sebab
bagaimanapun kondisinya seseorang itu tetap dapat menunjukkan jati dirinya sebagai
seorang yang beriman.
Dengan
demikian dapatlah disimpulkan bahwa puasa ramadhan merupakan arena pembinaan
kepribadian muslim yang handal, sehingga ibadah puasa itu tetap relevan bagi
ummat manusia disegala zaman bagaimanapun canggihnya.
Kultum 9 September 2009
اَلْحَمْدُ
لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ
قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
Pengertian I’TIKAF
I’tikaf
adalah salah satu ibadah yang dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada
Allah SWT. Ibadah ini telah dicontohkan Rasulullah SAW sejak awal Islam, bahkan
sebelumnya.
Ibadah
I’tikaf dilakukan, selain untuk mengkonsentrasikan diri pada pendekatan diri
kepada Allah, juga dilakukan dalam rangka perenungan tentang kualitas ibadah
dan keberadaan manusia sebagai hamba Allah SWT.
Ibadah
ini dilakukan biasanya pada fase yang disebut Nabi sebagai ‘itqun minan-nar (menghindarkan diri dari neraka), kira-kira
sepuluh hari terakhir ramadhan. Meskipun Nabi Muhammad SAW juga melakukannya
sejak sepuluh hari yang pertama, seperti diterangkan dalam salah satu riwayat yang
menyebutkan: “Rasulullah melakukan i’tikaf pada sepuluh hari pertama di bulan
Ramadhan, kemudian diteruskan pada sepuluh hari pertengahan di sebuah kubah
turki. Biasanya beliau ambil tikar lalu dibawa ke sudut kubah. Setelah itu
beliau mengeluarkan kepalanya sembari memanggil orang banyak, sehingga mereka
mendekatinya. Kepada mereka beliau bersabda: “Sesungguhnya aku beri’tikaf pada
sepuluh hari yang pertama untuk mencari malam kemuliaan (laylatul qadr).
Kemudian aku teruskan pada sepuluh hari pertengahan. Setelah itu malaikat
datang dan mengatakan kepadaku bahwa sesungguhnya malam kemuliaan itu ada pada
sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Siapa yang ingin beri’tikaf maka
lakukanlah”. Tak pelak lagi orang-orangpun secara serentak beri’tikaf bersama
beliau” (al-Hadis)
I’tikaf
dari sudut bahasa berarti berdiam diri, dan itu dapat dilakukan di mana saja.
Tetapi menurut istilah Islam i’tikaf dimaksudkan sebagai berdiam diri di mesjid
untuk beribadah kepada Allah SWT.
I’tikaf
hukumnya sunat sepanjang waktu, terlebih-lebih setelah duapuluh hari Ramadhan.
Namun ada juga yang bersifat wajib, yaitu bagi orang yang bernazar untuk
melakukannya. Sabda Rasulullah SAW , dari A’isyah : “Rasulullah SAW
melakukan I’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sampai beliau
meninggal dunia” (HR. Bukhari dan Muslim).
Rukun
i’tikaf meliputi : (1). Niat. Dengan membedakan antara niat i’tikaf sunat
dengan i’tikaf nazar, (2). Berhenti dalam mesjid sekurang-kurangnya sekedar
yang dinamakan berhenti, (3). Tidak mencampuri isteri jika sedang dalam i’tikaf.
Firman Allah : “Janganlah kamu campuri mereka (istrimu) itu, sedang kamu beri’tikaf
dalam mesjid”. (QS. al-Baqarah:187). Orang yang beri’tikaf juga disyaratkan
tidak keluar dari mesjid dengan tidak ada ‘uzur (halangan).
Kultum
10 September 2009
اَلْحَمْدُ
لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ
قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
Tujuan I’tikaf dan Etika I’tikaf
Rasulullah
SAW telah melakukan i’tikaf jauh sebelum beliau diangkat menjadi Rasul, pastinya
ketika beliau sering berada di Gua Hira bertahannus kepada Allah. Di sini
beliau mengkonsentrasikan ibadahnya kepada Allah SWT. dengan i’tikaf. Ternyata
apa yang beliau lakukan dapat menghasilkan jiwa yang bersih dan hati yang
jernih.
Sedangkan
I’tikaf yang dilakukan Rasulullah saw setelah hijrah ke Madinah adalah untuk
mencari keberkahan Lailatul Qadr.
Dari
dua kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa i’tikaf dimaksudkan untuk
mensucikan jiwa dan menjernihkan hari, serta untuk mencari malam kemuliaan
(lailatul qadr).
Etika
i’tikaf
Dalam
melakukan i’tikaf terdapat beberapa etika seperti yang dicontohkan Rasulullah
SAW, :
Pertama, kegiatan paling
pokok yang dilakukan nabi Muhammad SAW ditempat i’tikafnya ialah : (1).
Melakukan shalat sunat, (2). Membaca Al-Qur’an, (3). Berdzikir, dan (4).
Lain-lain.
Kedua, Terkadang Rasulullah
melakukan i’tikaf di kubah mesjid untuk menghindarkan dampak mengganggu orang
yang sedang melakukan shalat. Beliau juga sering melakukannya di “Tiang
Taubat”. Disebut tiang taubat karena pada zaman
dahulu ada seseorang yang bernama Abu Lubabah yang jika merasa sudah melakukan
suatu kesalahan pada Bani Quraid
hah atau kaum muslimin pada umumnya dia mengikat
dirinya di tiang tersebut dan tidak boleh seorangpun melepaskannya kecuali
Rasulullah SAW. Suatu saat dia bertaubat di tempat itu, dan taubatnya diterima
Allah SWT. Sampai saat ini tempat itu diabadikan di sebuah dinding mesjid
dengan sebutan tiang taubat, dan didekat tiang itulah Rasulullah biasa duduk
beri’tikaf
Ketiga, Rasulullah
masuk ke tempat i’tikaf setelah melakukan shalat subuh pada hari ke sebelas
Ramadhan. Beliau tidak pernah meninggalkan i’tikaf kecuali ada alasan penting;
karena bepergian, ke perang Badr atau ke Mekkah, dan lain-lain. Kalau i’tikafnya
tinggal, dia mengkadhanya di bulan Syawal. Meskipun bukan wajib tetapi beliau
selalu menekuninya sebagai ibadah rutin.
Keempat, dalam melakukan
i’tikaf, Rasulullah tidaklah bersikap egois, tidak mengabaikan
kepentingan-kepentingan isterinya. Rasulullah, meskipun dalam masa i’tikafnya,
beliau tidak membatalkan tugas sosialnya seperti menjenguk orang sakit dan
mengantar jenazah.
Kelima, Ketika i’tikaf
berlangsung, Rasulullah SAW berusaha melepaskan diri dari segala hal yang bersifat duniawi, dan tetap fokus pada
pendekatan diri kepada Allah SWT.
Keenam, Rasulullah juga
membangunkan keluarganya dari tidurnya untuk melakukan i’tikaf setelah sepuluh hari yang terakhir Ramadhan.
Dari
analisis di atas dapatlah disimpulkan bahwa i’tikaf merupakan ibadah yang
dicontohkan Rasulullah SAW untuk membimbing manusia agar selalu mengupayakan
kedekatannya kepada Allah SWT serta untuk mensucikan jiwa dan menjernihkan hati
mereka dalam menjalani kehidupan.
Kultum 11 September 2009
اَلْحَمْدُ
لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ
قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
PUASA RUHANIYAH DAN PUASA JASMANIAH
Esensi puasa bukan terletak pada
jasmaniahnya, seperti tidak boleh makan, minum dan berhubungan seks di siang
hari. Tapi puasa bersifat ruhani, karena ruh adalah milik Allah yang telah
Allah berikan ke dalam tubuh jasmani Adam, maka oleh sebab itu Allah lebih
mencintai ruhaniah daripada jasmaniah.
Maka kalau puasa sekadar tidak makan
dan minum, maka itu adalah puasa jasmani sedangkan puasa ruhaniah itu merupakan
rahasia sehingga hanya Allah saja yang mengetahuinya.
Keterangan Hadits tentang puasa kelihatan
sangat lahiriah sebagaimana disebutkan: “Puasa itu tidak makan, tidak minum
dan melakukan hubungan seks mulai dari fajar hingga terbenamnya matahari”.
Akan tetapi ada juga Hadits yang
menjelaskan bahwa selama puasa orang tidak boleh berbuat rafats, fasik dan
tidak boleh bertengkar. Ketiga larangan ini agaknya lebih mengarah kepada
keruhanian. Jadi, puasa itu memiliki dua dimensi, jasmaniah (tidak makan,
minum, seks) dan ruhaniah (tidak rafats, fasik, tidak bertengkar).
Rafats disini tidak diartikan secara
lahiriah, yakni hanya berjima’. Tapi secara bahasa “rafatsa” artinya segala
kecenderungan berbentuk seks atau syahwat yang berwujud fikiran, khayalan,
keinginan, pandangan dan sebagainya.
Puasa jasmaniah itu kalau orang
melanggarnya maka puasanya jadi batal seketika. Misalnya apabila seorang makan-minum
dan melakukan hubungan seks pada siang hari maka jelas puasanya batal. Tapi
kalau puasa ruhaniah, apabila orang melakukan kesalahan seperti menggunjing,
berdusta, memfitnah, melihat yang haram maka puasa tidak batal melainkan rusak
puasanya. Apakah Rusaknya 100%, 75%, 50% atau 25% tergantung penilaian Allah
ta’ala. Kalau sudah rusaknya 100% puasanya sah tapi tidak memiliki nilai atau
tidak menjadikan pelakunya menjadi orang yang bertaqwa.
Itulah sebabnya Nabi saw membedakan puasa
dalam beberapa tingkatan. Puasa awam, puasa
khawash, dan puasa khawashul khawash sebagaimana dimaksudkan dalam sebuah
Hadits Rasulullah. Puasa orang awam itu puasa yang tidak makan, tidak minum,
dan menghindari seksualitas. Adapun puasa khawas terfokus pada puasa lahir dan
puasa ruhaniah. Sedangkan khawashul khawash, puasa terfokus pada puasa lahir
dan puasa ruhaniah ditambah tidak pernah meninggalkan dzikir dan selalu ingat
pada Allah.
Puasa pada dasarnya adalah untuk menekan
gejolak hawa nafsu. Sehingga dorongan-dorongan biologis itu bisa dilemahkan dan
memberi kesempatan kepada kalbu itu untuk tumbuh besar, agar sifat-sifat
ke-Allah-an yang ada dalam kalbu, termasuk keimanan dan moralitas, itu juga
menjadi tumbuh dan berkembang. Jika sifat-sifat ke-Allah-an ini terpancar
keluar maka akan menjadi akhlak yang baik atau akhlak sebagai hamba Allah.
Jasmani harus dilemahkan untuk
memperlemah hawa nafsu ini, misalnya dengan tidak makan, tidak minum dan tidak
melakukan hubungan seks di samping mengurangi tidur. Pada manusia itu terdapat
empat hawa, yaitu hawa makan, hawa minum, hawa seks, dan hawa tidur. Semua ini
harus dilemahkan sehingga ruhnya bisa berkembang. Ketika ruh berkembang, maka
ruh akan selalu ingat pada Allah. Inilah yang saya maksud dengan puasanya
khawashul khawash.
Kultum 12 September 2009
اَلْحَمْدُ
لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ
قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
ibadah puasa SEBAGAI
SARANA DZIKIR
Selama ini kita biasa mendengar bahwa shalat,
zakat, puasa, atau haji sebagai perintah atau syariat yang harus dijalankan
sebagai rukun Islam. Tidak sempurna keislaman seseorang bila mengingkari salah
satu ibadah tersebut apalagi tidak menjalankannya. Namun tahukah kita bahwa keseluruhan
ibadah-ibadah tersebut pada hakekatnya juga sebagai alat-alat atau sarana menuju
dzikrullah seperti dalam surat Thaha ayat 14, Aqimishhalah lidzikri.
Dirikan shalat untuk mengingat kepada-Ku. Sehingga sholat adalah sarana atau
alat untuk mengingat Allah. Lalu dalam surat al-Hajj ayat 27 dan 28 juga
menerangkan bahwa kalau manusia disuruh menunaikan ibadah haji, tapi panggilan
haji itu dimaksudkan agar manusia berdzikir pada Allah. Kemudian puasa, untuk
apa kita puasa? Lihat surat al-Baqarah ayat 183 yang mewajibkan kita untuk
berpuasa, supaya apa? Supaya kita berTaqwa. Taqwa itu bukan diterjemahkan
dengan “takut”. Taqwa berasal dari waqa yang artinya berjaga, bersiaga
sehingga arti Taqwa menjadi senantiasa ingat pada Allah.
Begitupula dengan puasa. Apabila
seseorang berpuasa maka lemahlah fisiknya karena makan dan minumnya berkurang,
maka dengan demikian gejolak hawa itu juga melemah. Kalau gejolak hawa nafsu
ini melemah maka kalbu berkembang. Jika kalbu berkembang, maka kalbu akan
terhubung dengan Allah dan itulah Taqwa.
Zikir dalam bahasa Arab mempunyai dua
arti. Pertama, artinya “menyebut” yang biasa disebut dengan zikir lisan. Kedua,
artinya mengingat, mengenang, merasakan yang biasa disebut dengan dzikir qolbu.
Jadi dzikir yang berulang-ulang tadi, dalam dunia sufi itu bukanlah dalam
bentuk dzikir mulut tapi dzikir kalbu. Inilah esensi puncak dari semua ibadah.
Kontak kalbu dengan Allah itu adalah dizkir, sementara sarananya adalah lewat shalat,
zakat, puasa, dan haji.
Kalau dari tinjauan syari’at,
kenikmatan berpuasa itu terletak pada saat berbuka dan saat idul fitri maka itu
adalah puasa lahiriah, tapi bagi seorang sufi, puncak kenikmatan puasa itu
ketika selama dalam berpuasa merasakan kedekatan hubungannya dengan Allah.
Mendekat kepada Allah tidak hanya
dicapai dengan puasa Ramadhan saja, diluar ramadhan juga masih banyak
upaya-upaya mendekatkan diri kepada Allah misalnya dengan banyak membaca
al-Qur’an, menolong orang-orang sakit, memberi makan orang-orang miskin, berqurban
dan sebagainya.
Tujuan setiap ibadah adalah kedekatan
pada Allah ta’ala. Puasa yang kita lakukan bertujuan untuk mencapai kedekatan pada
Allah. Kita harus menghargai puasa karena itulah jalan menuju kedekatan pada
Allah.
Kultum 13 September 2009
اَلْحَمْدُ
لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ
قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
puasa MENDIDIK MANUSIA BERAkhlak
Para
ulama akhlak berbeda pendapat tentang akhlak pada diri manusia, apakah akhlak
tersebut merupakan hasil pendidikan dan latihan ataukah sudah pembawaan sejak
lahir. Sebagian prang berpendapat bahwa adakalanya orang bertingkah laku baik
atau buruk karena pembawaannya sejak lahir dan itulah bibit dan bebet yang ada
padanya, sehingga akhlak tidak lagi bisa dirubah dan diperbaiki. Pendapat ini adalah pemikiran Jabariah, sebuah aliran
fatalisme dalam teologi Islam.
Sebagian besar ulama seperti Ibnu Maskawaih menentang
pandangan di atas, jika pendapat itu diterima maka akan membuat orang akan mentolerir
setiap tindak kezaliman dan kejahatan sebagai suatu yang lumrah sehingga
tidak perlu upaya perbaikan. Sehingga tanpa nasehat dan pendidikan pun seseorang
sudah seperti itu karena itu sudah menjadi kodratnya.
Pernyataan tersebut jelas sangat bertolak belakang dengan
tujuan diutusnya Nabi kepada Manusia, sebab Rasulullah saw. bersabda: "Sesungguhnya aku diutus untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia".
Allah swt sangat menginginkan hamba-hambanya dalam
keadaan baik dan terus menerus dalam kebaikan. Namun pada hakekatnya kebaikan
seseorang itu tidak terlepas dari pendidikan akhlak dan keimanan yang
ditanamkan kedua orang tuanya sejak kecil. Hal ini ditegaskan Rasulullah saw. dalam
sabdanya : "Setiap anak dilahirkan
dalam keadan fitrah (suci), maka ayah-ibunyalah membuatnya menjadi Yahudi
(berakhlak Yahudi) atau Nasrani atau Majusi” (HR.Bukhari).
Dari uraian Hadits diatas nyatalah bagi kita bahwa
manusia sejak lahirnya berpotensi pada kebaikan, namun jika orang tua kurang
memperhatikan anaknya, potensi kebaikan itu bisa hilang dan bisa menjadi
keburukan. Orang tua yang tidak bisa mendidik anaknya secara langsung harus menyerahkan
anaknya kepada guru untuk dididik.
Kepada kaum muslimin, puasa
juga berfungsi sebagai sarana pendidikan yang dapat membentuk pribadi seorang
muslim menjadi berakhlak mulia. Semua kaum muslimin yang melaksanakan puasa pada
hari cukup merasakan betapa pahitnya kehidupan orang-orang lemah yang kadang
makan kadang tidak. Sehingga mucullah rasa kepedulian sosial yang tinggi, penuh
kasih sayang kepada kaum dhuafa’ sehingga mereka banyak yang bershodaqoh dan
membantu kebutuhan mereka. Apalagi Islam juga mewajibkan zakat fitrah pada
bulan tersebut untuk kesempurnaan puasa.
Ramadhan adalah sarana pendidikan
bagi pribadi muslim agar bisa memelihara syahwatnya. Sebab Ramadhan ummat Islam diajarkan untuk
menahan makan dan minum, juga menahan syahwat yang halal seperti kepada
isterinya.
Berpuasa juga mengandung
pengajaran untuk menjaga diri dari perbuatan keji dan mungkar. Sebagaimana Jabir bin Abdillah Radhiyallahu 'Anhu berkata: "Jika
kamu berpuasa, hendaknya berpuasa pula pendengaranmu, penglihatanmu dan lisanmu
dari dusta dan dosa-dosa, tinggalkan menyakiti tetangga, dan hendaknya kamu
senantiasa bersikap tenang pada hari kamu berpuasa, jangan pula kamu jadikan
hari berbukamu sama dengan hari kamu berpuasa".
Ramadhan juga mengajarkan agar seorang muslim menjaga makanan dari
yang haram. Sebab tiada gunanya berpuasa kalau seorang muslim tidak menjaga
kehalalan makanannya.
Dengan demikian jelaslah bahwa ramadhan merupakan sarana
pendidikan bagi kaum muslimin untuk mencapai kemuliaan akhlak.
Kultum 14 September 2009
اَلْحَمْدُ
لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ
قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
Marah dapat MENGurangi NILAI Puasa
Salah satu bidikan yang semestinya dihasilkan dari puasa adalah
terkendalinya sifat-sifat negatif manusia. Salah satu sifat negatif yang
potensial pada diri manusia adalah marah. Al-Qur’an menjelaskan menahan sikap
marah adalah perbuatan yang disukai Allah sebagaimana firman Allah:
"(yaitu)
orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit,
dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah
menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan". (QS.
3/Ali-Imran:134)
Secara alamiah, orang yang berpuasa dilatih untuk mengendalikan
sifat marahnya. Bahkan secara khusus Rasulullah mengajarkan kepada orang yang
sedang berpuasa, bila ada yang mengajaknya bertengkar, maka sebaiknya ia
menolak secara halus. Pertengkaran yang dimaksud ini bisa berupa adu mulut,
lebih-lebih adu fisik.
Puasa adalah latihan mengendalikan hawa nafsu, tidak hanya nafsu
makan dan nafsu-nafsu biologis lainnya, namun juga pengendalian nafsu-nafsu
hayawaniyah lainnya seperti nafsu yang dilakukan oleh lisan, sebagaimana Rasulullah
saw. bersabda : "Barang siapa tidak
meninggalkan perkataan buruk, maka tidak ada keharusan bagi Allah untuk
memperhatikan nilai dari makan dan minum yang ditinggalkannya." (HR. Al Bukhari)
Nabi saw. juga bersabda: "Puasa
adalah perisai, bila suatu hari seseorang dari kamu berpuasa, hendaknya ia
tidak berkata buruk dan berteriak-teriak. Bila seseorang menghina atau
mencacinya, hendaknya ia berkata: Sesungguhnya aku sedang berpuasa". (HR. Al Bukhari, Muslim dan para penulis kitab Sunan)
Agar Allah memperhatikan puasanya, maka seseorang
hendaklah memperhatikan hal-hal yang dapat mengikis nilai puasa,
seperti menghindari perkataan yang salah dan buruk ditinjau dari sisi adab, misalnya marah, menghina, berdusta,
menggunjing, mengadu domba, mengolok-olok serta perkataan mengada-ada atau
fitnah.
Marah adalah kesalahan yang dilakukan oleh lisan, yang dapat
mengurangi nilai puasa. Maka sebelum melampiaskan nafsu amarah, seseorang
dituntut untuk bersabar. Bila ia sedang berposisi tegak atau berdiri maka
hendaklah ia duduk, jika ia dalam kondisi duduk hendaklah ia bertiarap atau
segera pergi berwudhu.
Banyak marah dan emosi yang disebabkan oleh hal yang sepele
padahal banyak cara yang dapat dilakukan untuk meluruskan sesuatu tanpa emosi. Puasa
yang bersih adalah puasa yang dapat membuat pelakunya terpelihara dari
perkataan yang keji dan kotor. Puasa yang bersih akan membuat jiwa tenang serta
tidak emosional. Maka jika kita sedang diuji dengan seorang yang berbuat jahil
atau berbuat salah janganlah dihadapi dengan tindakan ceroboh yang dapat
mengurangi dan memperburuk nilai puasa. Akan tetapi hadapilah dengan penuh
hikmah dan nasehat yang baik.
Kultum 15 September 2009
اَلْحَمْدُ
لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ
إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
puasa menguatkan hubungan
dengan allah
Puasa
merupakan upaya penguatan tali hubungan dengan Allah (hablumninallah), yang diperoleh
melalui pengasahan hati nurani, dan kasih sayang sesama manusia. Karena dalam
puasa kita diajarkan agar melakukannya dengan tulus dan tidak dibuat-buat,
sehingga akan melahirkan keyakinan yang kuat pada Allah yang Maha mengetahui
ibadah puasa yang kita jalankan.
Kesadaran
seperti itu secara otomatis akan mempererat hubungan dengan Allah sehingga
Allah swt memperhatikan kesulitan para hambaNya, dan dan memberikan jalan
keluar di balik kesulitan mereka. Sebagaimana firman Allah SWT. : “Sesungguhnya di balik kesulitan ada jalan
keluar, dan dibalik kesulitan ada jalan keluar. Jika kamu selesai mengerjakan
suatu pekerjaan, tanganilah pekerjaan lain secara sungguh-sungguh”. (QS. Al-Insyirah:
5-6)
Ayat
diatas mengisyaratkan bahwa kesadaran hati nurani yang tumbuh pada diri
seseorang membuatnya yakin bahwa Allah ta’ala senantiasa menolong atas setiap
kesulitan. Oleh karenya tidak pantas bagi manusia itu mengeluh atas pekerjaan
walau berat sekalipun, kalau ia yakin akan adanya pertolongan Allah.
Puasa
adalah latihan yang dapat melahirkan etos kerja dan keikhlasan. Oleh sebab itu
kesadaran dan kesungguhan dalam menjalankan ibadah tersebut perlu ditanamkan
sehingga menumbuhkan keyakinan yang kuat pada Allah yang senantiasa menolong
hambaNya.
Puasa
yang sungguh-sungguh memungkinkan bagi diperolehnya keberkahan yang merupakan
kebaikan dari Allah bagi umat manusia yang disayangiNya. Yakni mereka yang memiliki
kesadaran spiritual yang tinggi dalam menjalankan puasa dan rangkaian ibadah
yang disukai Allah dalam bulan puasa.
Puasa
dapat membentuk hati nurani yang kuat dan kokoh, sehingga terbentuklah iklim sosial
yang penuh kebersamaan dalam sebuah masyarakat. Dengan kebersamaan itu semua
komponen masyarakat tumbuh rasa memilikinya dan masing-masing merasa perlu
mengambil peran strategis dalam pembangunan. Rasulullah saw. menggambarkan
bahwa kunci kemajuan suatu bangsa adalah apabila setiap komponen bangsa
mengambil peran dalam pembangunan bangsa. Diantaranya adalah: Para penguasa
yang merasa terpanggil untuk memimpin masyarakat dengan adil, para pedagang dan
pengusaha yang menjalankan bisnisnya dengan jujur, para ulama dan kaum
cendikiawan memberikan ilmunya dengan ikhlas, dan kaum dhuafa’ selalu berdo’a
untuk pemimpinnya dan kemajuan bangsanya.
Kultum 16 September 2009
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ
وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
MAKNA
ZAKAT FITRAH & PANDUAN MENGELUARKAN ZAKAT FITRAH
Zakat fithrah ialah zakat yang wajib disebabkan
berbuka dari puasa Ramadhan. Hukumnya wajib atas setiap diri Muslimin, biar
kecil atau dewasa, laki-laki atau wanita, budak belian atau merdeka.
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar r.a. katanya : “Rasulullah
s.a.w. telah mewajibkan zakat fitrah dari Ramadhan sebanyak satu sukat dari
kurma atau padi, atas hamba dan orang merdeka, laki-laki dan wanita, anak kecil
dan orang dewasa dari kaum Muslimin”.
Zakat fithrah telah disyariatkan pada bulan Sya’ban
tahun kedua hijriyah, hikmahnya ialah untuk mensucikan orang yang puasa dari
perbuatan dan perkataan keji, dan untuk memberi makan orang-orang miskin
membagi kebahagiaan kepada mereka. Berdasarkan hadits: “Rasulullah s.a.w.
telah mewajibkan zakat fithrah untuk mensucikan orang yang puasa dari perkataan
kosong dan perbuatan keji, dan sebagai pangan bagi orang-orang miskin.”
Menurut Tsauri, Ahmad, Ishak, dan Syafi’i dalam
Al-Jadid, serta menurut satu berita juga dari Malik, waktu wajibnya itu, ialah
ketika terbenamnya matahari, pada malam lebaran, karena saat itulah waktu
berbuka puasa Ramadhan. Siapa yang membayarkannya sebelum shalat, maka itu
merupakan zakat yang diterima, dan siapa yang membayarnya setelah shalat, maka
itu hanya sedekah biasa.
Berkata Abu Sa’id al-Khudri: “Ketika Rasulullah
s.a.w. masih berada di tengah kami, kami mengeluarkan zakat fithrah itu untuk
setiap anak kecil, orang dewasa, merdeka ataupun budak, adalah satu sha’
makanan, satu sha’ keju, satu sha’ beras Belanda, satu sha’ kurma, atau satu
sha’ anggur.
Bagi kita kaum muslimin di Indonesia bentuk zakatnya
yang lazim adalah makanan pokok yakni beras seberat 2,5 atau 2,7 kg. Menurut Khalifah
Umar bin Abd.Aziz dan Abu Hanifah membolehkan zakat dengan memberikan uang senilai
beras diatas.
Tetapi menurut Abu Hanifah, Laits, Syafi’i dalam
Al-Qadim dan menurut berita yang lain dari Malik, waktu wajibnya ialah tatkala
terbit fajar dari hari lebaran.
Akibat pertikaian ini, akan menyangkut bayi yang
lahir sebelum fajar hari lebaran, dan yang sesudah terbenam matahari, apakah
wajib dikeluarkan fithrahnya atau tidak. Menurut golongan pertama, tidak wajib
karena ia dilahirkan setelah waktu diwajibkan, sedang menurut golongan kedua,
wajib, karena lahirnya sebelum waktu diwajibkan.
Menurut jumhur fuqaha, boleh memajukan pembayaran
zakat fithrah sebelum hari raya agak sehari-dua. Berkata Ibnu Umar r.a. : “Kami
dititah oleh Rasulullah s.a.w mengenai zakat fithrah, agar dibayarkan sebelum
orang-orang keluar pergi shalat”.
Dan para Imam sependapat bahwa
zakat-fithrah itu tidaklah gugur kewajibannya dengan mengundurkannya dari waktu
wajib, tetapi menjadi utang yang menjadi tanggungjawabnya, sampai lunas dibayar
walau hingga akhir usia. Mereka sepakat pula, bahwa tidak boleh menangguhkannya
lewat dari hari lebaran, kecuali Ibnu Sirin dan Nakh’i yang kabarnya
berpendapat boleh ditangguhkan dari hari lebaran itu. Dan berkata Ahmad : “Harapan saya bahwa itu tidak menjadi apa”.
Yang berhak menerima zakat fithrah itu, sama halnya dengan yang berhak
menerima zakat, artinya fithrah itu hendaklah di bagikan kepada golongan yang
delapan tersebut dalam ayat: “Hanya-sanya zakat itu adalah untuk orang-orang
fakir”.
Kultum 17 September 2009
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ
وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
PENGERTIAN LAILATUL QADR
Di kalangan umat ini terdapat
tradisi pemahaman (tentu juga berdasarkan nash) bahwa laylat al-qadr’ adalah
malam penuh berkah dan rahmat, sehingga ia perlu dicari dan ditemukan. Bahkan
ada yang berusaha menunggunya dengan berjaga sepanjang malam pada bulan
Ramadhan, sembari terpikir di benaknya bahwa di antara tanda-tanda Lailatul
Qadritu antara lain ‘hujan rintik-rintik’, ‘situasi malam yang dingin’, dan
lain-lain.
Ditemukan suatu riwayat yang
berkembang di kalangan umat itu, bahwa di satu saat di masa yang lampau pernah
terjadi “pada suatu malam seseorang mengikat tali kudanya pada pohon kelapa
yang sedang tumbang. Akan tetapi pagi harinya ia terperanjat melihat kudanya
sudah tergantung pada pohon kelapa yang berdiri dengan kokohnya. Sebab pada
malamnya pohon kelapa itu tumbang (bersujud di tanah), adalah dalam rangka
menghormati Laylatul Qadryang sedang berlangsung”.
Riwayat lain juga menceritakan
bahwa ada seseorang yang hendak berwudhu. Namun ia terkejut ketika menyaksikan
air yang akan digunakan untuk wudhu berada dalam keadaan beku, sebagai isyarat
bahwa saat itu Laylatul Qadrsedang berlangsung. Dan banyak lagi
ceritera-ceritera yang berkembang di tengah masyarakat sekitar lailatul qadr
itu.
Di tengah tradisi pemahaman
tersebut, yang sangat menarik perhatian adalah bahwa tak seorang pun diantara
umat ini yang dapat berkata bahwa ia telah menemukan/memperoleh malam yang
berkah itu. Sehingga timbul kesan bahwa para ulama atau kiyai sajalah yang
dapat memperolehnya.
Namun, ketika kita mencoba
mempertanyakan kepada para ulama dan para kiyai kita yang terhormat (khususnya
yang ada saat ini), tak satu pun diantara mereka yang dapat berkata bahwa malam
berkah itu pernah ditemukannya.
Kalau demikian halnya, dimana
sebetulnya Laylatul Qadritu ? mungkinkah ia misterius? Atau pemahaman kita yang
tidak proporsional mengenainya ? Untuk itulah tampaknya kita perlu melakukan
telaah ulang terhadap tradisi pemahaman mengenai Laylatul Qadrselama ini, agar
umat tidak senantiasa berada dalam penantian yang tak berkesudahan.
Di kalangan umat Islam terdapat tiga visi mengenai
(pengertian) Laylatul Qadr:
Pertama, Laylatul Qadrdiartikan sebagai ‘penetapan dan pengaturan’ jadi penetapan
Allah bagi perjalanan hidup manusia. Demikian juga momentum turunnya Al-Qur’an
merupakan penetapan strategi baru bagi nabi Muhammad Saw untuk merubah arah
sejarah manusia.
Kedua, Laylatul Qadr diartikan sebagai ‘kemuliaan’ jadi malam tersebut adalah
malam yang mulia, yang tiada taranya, merupakan titik tolak untuk memperoleh
segala kemuliaan yang dapat diraih. Dan yang paling mengesankan di sini adalah
isyarat Allah Swt bahwa bagi siapa saja yang ingin memperoleh kemuliaan
dari-Nya, hendaknya diusahakan dengan gemar dan banyak membaca Al-Qur’an (dalam
arti yang seluasnya). Itulah yang dikehendaki dengan kalimat iqra’ wa rabbuk al-akram (Bacalah, dan
Tuhanmu Yang Maha Mulia). Di sini seakan Tuhan berkata, membacalah secara
serius dan seluas-luasnya, sebab dengan demikian Allah akan membagi
kemuliaan-Nya bagimu.
Ketiga, Laylatul Qadr diartikan sebagai ‘sempit’ karena banyaknya malaikat yang
turun ke bumi mengiringi turunnya Al-Qur’an. Firman Allah tersebut
(Q.S.97/al-Qadr:4).
Apabila dianalisis lebih filosofis, maka ketiga visi
itu sama-sama benar, sebab malam itu merupakan batas strategi perjuangan Rasul
dalam merubah arah sejarah manusia, di malam itu pula Muhammad dilantik menjadi
Rasul yang mulia, dan pada malam itu pula malaikat turun memenuhi bumi untuk
membawa ketenangan dan kedamaian.
Kultum
18 September 2009
اَلْحَمْدُ
لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ
قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
IMSAK SOSIAL UNTUK KESELAMATAN
BANGSA
Salah
satu kelebihan manusia dari makhluk lain adalah kemampuannya berbicara berkat
lidahnya untuk mengeluarkan statement (pernyataan) yang dapat ditangkap oleh
orang atau kelompok lain, atau masyarakat di mana ia berada.
Namun
perlu diingat bahwa kemampuan berbicara bagai pisau bermata dua; satu sisi ia
dapat memberikan manfaat dan menciptakan keharmonisan sosial, pada sisi lain
kemampuan berbicara dapat menciptakan kekacauan, kebingungan, dan memperumit
masalah-masalah yang ada.
Sebelum
menjalankan puasa ditandai dengan imsak atau menahan diri dari segala yang
membatalkan puasa. Kata imsak dalam arti yang sebenarnya adalah menahan diri, termasuk
menahan dari segala macam perbuatan, prilaku, dan perkataan yang tidak sesuai
dengan tuntutan agama.
Dilihat
secara demikian maka puasa ramadhan memiliki arti yang sangat strategis dalam
upaya pemulihan masalah-masalah pribadi, masalah-masalah masyarakat, akibat
demokrasi yang kebablasan, dimana setiap orang dapat mengeluarkan statement-statementnya
secara bebas karena selama puluhan tahun “dibungkam”.
Sehingga
seringkali pernyataan-pernyataan para politisi, para pemimpin, elit politik,
tokoh organisasi, LSM, dan bahkan rakyat biasa yang tidak memperhitungkan etika
berbicara sehingga cukup meresahkan karena tidak mendidik, dan tidak bersahabat,
dan menjaga keutuhan bangsa Indonesia yang bhinneka tunggal ika.
Itulah
sebabnya Islam memberikan control yang sangat serius terhadap penggunaan lidah,
sehingga selama puasa Ramadhan ajaran yang paling mengesankan didalamnya adalah
mengenai keharusan menjaga, menahan atau mengendalikan diri (imsak) dari
perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan yang tidak benar.
Bahkan
Islam melihat bahwa menjaga lisan itu adalah bagian dan salah satu kriteria
manusia beriman yang berhak mendapat keselamatan dan jalan keluar dari
kesulitan yang dihadapinya sebagaimana firman Allah yang artinya: “Dan
orang-orang yang tidak memberikan pernyataan-pernyataan (statement-statement )
palsu (yang tak berdasar). Apabila
mereka sedang melewati sesuatu yang sia-sia, mereka tetap menjaga kehormatan
dirinya” (QS.25/al-Furqan:73).
Paling tidak ada dua hal yang dapat ditangkap dari ayat
ini. Pertama, bahwa salah satu karakter seseorang yang pantas disebut beriman
adalah kesediaannya untuk tidak sering mengeluarkan statement-statement palsu
yang tak berdasar, tanpa dalil dan fakta. Kedua, dalam situasi yang kurang
menguntungkan mereka selalu menjaga kehormatan diri dan keharmonisannya demi
menjaga keutuhan masyarakat.
Statement-stetement palsu atau rekayasa politik dalam
perspektif Islam dipandang sebagai fitnah yang tidak hanya akan mendatangkan
kehancuran bagi orang atau kelompok yang zalim dan jahat, tetapi akan berakibat
pada hilangnya keharmonisan berbangsa dan melemahkan sendi-sendi kebersamaan
kita sebagai bangsa yang bersatu. Allah berfirman : “Jagalah dirimu
dari bencana fitnah yang tidak hanya akan menimpa mereka yang jahat saja di
antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah keras sekali dalam menjatuhkan hukuman”.
(QS.8/al-Anfal:25). Dan firman Allah pula : “Fitnah lebih jahat
daripada pembunuhan” Demikian tertulis dalam Al-Qurán
(QS.2/al-Baqarah:191).
Kultum
19 September 2009
اَلْحَمْدُ
لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ
قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
MANUSIA
TAQWA PENUH KE’ARIFAN
Dipenghujung puasa Ramadhan, orang yang beriman
tampaknya perlu melakukan evaluasi dalam bentuk introspeksi diri, sejauh mana
ia telah memasuki pintu gerbang kawasan ketaqwaan sebagai yang telah dijanjikan
Tuhan (QS.2/al-Baqarah:183). Dari sekian banyak pengertian dan ciri ketaqwaan
itu, disini ingin diketengahkan persoalan kearifan apakah sudah masuk kedalam
hati dan prilaku kaum beriman. Abdullah Yusuf Ali menjelaskan paling tidak ada
tiga pengertian ketaqwaan. Pertama, takut kepada Allah sebagai awal dari
ke’arifan. Kedua, menjaga lidah, tangan dan hati dari perbuatan
yang salah. Ketiga, Ketaatan dan kelakuan baik.
Salah saru makna ketaqwaan yang
merupakan tujuan puasa Ramadhan adalah ke’arifan. Kata ‘arif (‘arif=Arab),
terabadikan dalam bahaha Indonesia, seperti terlihat pada term arif bijaksana
yang sering digunakan, disamping makna arif itu sendiri adalah komitmen pada
kebenaran dan kemampuan melakukan kontrol terhadap diri sendiri.
Ke’arifan sebagai ciri manusia
muttaqin itu dapat dilihat dalam empat bentuk :
Pertama, ke’arifan prediktif yaitu
seorang yang telah melakukan puasa
dengan benar seyogianya sudah harus memilik visi yang jauh ke depan
mengenai kehidupan yang hendak dibangunnya, sebab Tuhan sangat menganjurkannya
(QS. al-Hasyir:18).
Kedua, Ke’arifan equilibrium, yakni
ke’arifan untuk menciptakan keseimbangan dalam dirinya dan keluarganya, berupa
keseimbangan intelektual dan hati nurani, individu dan masyarakat, jasmaniah
dan rohaniah, serta dunia dan akhirat (QS.Al-Qashash:77).
Ketiga, Ke’arifan pluralitas, suatu
ke’arifan dalam menghadapi perbedaan dengan penuh lapang dada, bahkan cara
pandangnya terhadap orang yang berbeda visi, dan bahkan metodologis untuk
mencapai kemajuan Islam. Orang beriman tidak boleh berpandangan merasa benar
sendiri.
Keempat, Ke’arifan horizontal, yakni
kepedulian terhadap mereka yang miskin dan berkekurangan. Tidak mementingkan
diri sendiri melainkan santun terhadap masyarakat yang masih tertinggal,
sebagai pelaksanaan dari tanggung jawabnya sebagai khalifah Tuhan. Kepedulian
itu terutama yang berbentuk produktif dan peningkatan kualitas kaum yang lemah.
Dalam kehidupan kita sehari-hari
kita perlu menjaga hubungan agar penuh kedamaian, jika tidak, maka kehinaan
dalam arti luas akan menimpa kita. Kehinaan itu
bisa terjadi dalam kehidupan keseharian didunia dan bisa pula dihadapan Tuhan
kelak.
Kata hablun min al-nas dalam ayat diatas hendaknya
tidak dipahami terbatas pada hubungan sesama manusia, tetapi juga dengan
lingkungan hidup dalam arti yang
seluas-luasnya. Sebab, kehinaan yang diakibatkan terganggunya hubungan dengan
lingkungan seringkali lebih fatal dan menyakitkan, semisal banjir dan
kekeringan, yang semua ini seringkali mendatangkan penderitaan bagi rakyat
kecil.
Oleh sebab itu Allah SWT berungkali menghimbau
manusia agar segera memohon ampun atas segala dosa-dosanya kepada Allah. Dalam
rangka upaya mencari ampunan dosa itu, Al-Qur’an menegaskan satu nuktah bahwa
dosa seorang tidak dapat ditebus oleh
orang lain (QS.6/Al-An’am:164).
Dosa dan kesalahan kepada Allah
Insya Allah akan terampuni jika kita
mohon ampun pada-Nya dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. Tetapi jenis
dosa terhadap sesama melainkan harus langsung mohon maaf pada orang yang
bersangkutan (selama bisa).
Kultum
20 September 2009
اَلْحَمْدُ
لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ
قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
KESADARAN HATI SETELAH PUASA
Hati yang penuh kesadaran
adalah hati nurani yang dapat memunculkan etos kerja dan keikhlasan yang yung
muncul tanpa dipaksa.
Puasa dalam tingkat tertentu
setidaknya dapat melahirkan etos kerja
baru bagi seorang muslim, sehingga dapat bekerja lebih ikhlas dan lebih
sungguh-sungguh. Sebab puasa juga merupakan usaha-usaha sungguh-sungguh manusia
agar dapat menggapai keberkahan, rahmat dan kebaikan Tuhan (khair al-Ilahy)
dalam kehidupan dimasa yang akan dihadapi.
Begitulah, puasa Ramadhan hendaklah dapat melatih
setiap individu orang-orang yang beriman, sehingga dapat mendukung kemajuan
dirinya adalah hal yang teramat penting untuk direnungkan selepas usainya
ibadah Ramadhan.
Sebab tanpa dimilikinya sikap pengendalian diri,
etos kerja baru, keinginan untuk mengembangkan peningkatan kualitas dirinya,
munculnya sikap self control yang merupakan faktor keunggulan kompetitif setiap
orang yang beriman, maka puasa yang dilakukan belum menyentuh titik muttaqin.
Untuk itu manusia harus dapat merenungi dan mengevaluasi diri dalam konteks
pribadi sebagai upaya meningkatkan kualitas ibadah pada hari-hari selanjutnya.
Melepas Ramadhan bukan bukan berati melepas
kewajiban. Sebab salah satu nilai yang sangat fundamental dalam setiap ibadah
yang diperintahkan dalam Islam adalah munculnya semangat baru pelaku ibadah itu
sehingga ia dapat memperbaiki kualitas kehidupan para pelakunya dimasa depan.
Dalam kaitannya dengan puasa Ramadhan, nilai
kebaruan itu dapat dilihat dalam peran ibadah ini meningkatkan kualitas kerja
umat Islam pasca Ramadhan.
Memang dalam Islam terdapat nuktah yang sangat
mengesankan mengenai kebaruan, seperti terlihat umpamanya dalam berbagai
petunjuk kitab suci dan pesan nabi Muhammad SAW “siapa yang harinya lebih baik
dari kemarin dialah orang beruntung, siapa yang harinya lebih buruk dari
kemarin dialah yang merugi”. (Hadits), “Bukanlah dikatakan berhari raya bagi siapa
yang memakai serba baru, tetapi hari raya bagi yang keimanannya bertambah”.
(HADITS)
Sabda Rasulullah saw. yang
artinya: Dari Abi Hurairah (ia berkata), sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam telah bersabda: “Shaum/puasa itu ialah pada hari kamu berpuasa,
dan (Idul) Fithri itu ialah pada hari KAMU BERBUKA. Dan (Idul) Adha (yakni hari
raya menyembelih hewan-hewan korban) itu ialah pada hari kamu menyembelih
hewan". (HR.Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Dan dalam salah satu lafadz
Imam Daruquthni, Rasulullah saw. bersabda yang artinya : Puasa kamu ialah pada
hari kamu (semuanya) berpuasa, dan (Idul) Fithri kamu ialah pada hari kamu
(semuanya) berbuka".
Hadits di atas dengan beberapa
lafadznya tegas-tegas menyatakan bahwa Idul Fithri ialah hari raya kita kembali
berbuka puasa (tidak berpuasa lagi setelah selama sebulan berpuasa). Oleh
karena itu disunatkan makan terlebih dahulu pada pagi harinya, sebelum kita
pergi ke tanah lapang untuk mendirikan shalat I'd. Supaya umat mengetahui bahwa
Ramadhan telah selesai dan hari ini adalah hari kita berbuka bersama-sama.
Itulah arti Idul Fithri secara bahasa.
Kultum
23 September 2009
اَلْحَمْدُ
لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ
قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
PANDUAN MENGQADHA SHAUM RAMADHAN DAN PELAKSANAAN
SHAUM SUNNAH ENAM HARI BULAN SYAWAL
1. Diriwayatkan
dari Aisyah ra, ia berkata : “Adalah salah seorang diantara kami tidak shaum
pada bulan Ramadhan pada zaman Rasulullah saw. maka ia tidak sanggup
mengqadhanya (membayar shaum yang ditingalkan) sehingga datang bulan
sya'ban (yakni pada bulan sya'ban baru bisa membayar shaumnya)”. (
HR. Muslim)
2. Barangsiapa
yang mempunyai hutang shaum bulan Ramadhan, hendaklah segera diqadha (di bayar
) secepat mungkin jangan di tunda-tunda kecuali karena ada uzur dan terpaksa di
tunda meskipun sampai bulan sya'ban.Diriwayatkan dari Aisyah ra. ia berkata :
Adalah saya mempunyai hutang shaum bulan Ramadhan, saya tidak mampu membayarnya
sampai datang bulan sya'ban. (HR. Bukhari)
3. Disunnahkan
shaum enam hari pada bulan syawal dengan syarat shaum Ramadhannya sudah
lengkap, tidak ada hutang. Diriwayatkan dari Abu Ayyub al-Anshariy ra:
Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda : “Barang siapa yang shaum pada bulan
Ramadhan, kemudian diikuti shaum enam hari pada bulan syawal adalah seperti
shaum setahun penuh”. (HR. Muslim)
4. Pelaksanaan shaum enam hari pada bulan
Syawal ini dapat dikerjakan secara berurutan (enam hari berturut-turut ) dan
ini lebih utama. Juga boleh dikerjakan berselang-seling (tidak berurutan), yang
penting pelaksanaanya adalah selama bulan Syawal.
Kultum 24 September 2009
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ
وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
Optimisme
dalam AJARAN Islam
Puasa
merupakan simbol ketangguhan kaum beriman dari segala goncangan kehidupan.
Dengan demikian puasa merupakan upaya melatih ketangguhan untuk mencapai
kualitas umat Islam yang produktif.
Allah
menggambarkan bahwa kehidupan manusia itu penuh dengan perjuangan, firman
ALlah:
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ
فِي كَبَدٍ
“Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia berada dalam kepenatan” (QS. al-Balad/90:4)
Dengan
demikian dapat dimaklumi jika Allah memberikan penilaian yang tinggi kepada
hamba-Nya yang bekerja-keras untuk kemashlahatan hidupnya, sebagaimana nabi
Muhammad SAW bersabda, “Orang yang tertidur di malam hari setelah bekerja
keras di siang hari, dia tersebut beristirahat dalam lindungan rahmat dan
keampunan dari Ilahi Rabbi.” (HR. Thabrani).
Untuk
itu Allah mengisyaratkan kepada manusia agar tidak lemah dan takut kesulitan
pekerjaan. Karena dalam ketentuan Allah (sunnatullah) sesudah dihadapi
kesulitan, akan datang kemudahan (QS.al-Insyarah 94:5-6).
Kadang
kita sudah mempunyai rencana yang sudah diperhitungkan untung ruginya, tetapi
suatu kesulitan di luar perhitungan kita bisa saja terjadi, maka dalam kondisi
ini kita harus lebih yakin bahwa Allah akan memberikan kemudahan lebih banyak. Karena kesulitan merupakan suatu tantangan yang harus dihadapi
agar mendapatkan kemudahan.
Karena seperti halnya shalat, dianjurkan agar
dilaksanakan secara berjemaah yang merupakan pekerjaan yang sulit. Akan tetapi
Allah memberikan nilai (derajat) yang lebih tinggi daripada sholat sendiri (fazzi).
Semakin tinggi tingkat kesulitan semakin besar nilai yang diberikan. Semakin berat
pekerjaan semakin besar nilai yang diberikan karena ia telah bekerja diluar kondisi
normal.
Namun perlu digaris bawahi dalam upaya mengejar nilai
lebih dalam hal kerja, juga harus diupayakan agar bekerja dengan memperhatikan
kesungguh-sungguhan, efisien, produktif, dan optimis.
Optimisme dapat tumbuh bila bekerja dilandasi oleh
motifasi antara lain :
1.
Bekerja dengan niat ibadah,
sebab dengan demikian, seseorang bekerja mendapatkan penghasilan, dan dari
penghasilan itu ia dapat dengan mudah melakukan sejumlah ibadah-ibadah yang
butuh dukungan dana yang cukup, seperti memberi nafkah, sedeqah, zakat dan ibadah
lainnya yang membutuhkan dana yang cukup.
2.
Kerja harus berkualitas,
sebab semakin tinggi kualitas pekerjaan semakin tinggi pula nilai ibadahnya, semakin
kecil resiko kerugian semakin baik kualitas pekerjaan.
3. Meyakini bahwa dibalik kesulitan kerja pasti ada
kemudahan dan jalan keluar.
4. Perlu dilakukan
perencanaan, untuk mendapatkan hasil yang sempurna. Semakin baik perencenaan
semakin baik hasil yang akan diperoleh.
Kultum 25 September 2009
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ
وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
JIHAD MELALUI
USAHA ADALAH LEBIH BAIK
Sebagai
konsekuensi dari posisi manusia sebagai khalifah Allah di permukaan bumi, maka
hidup manusia dengan sendirinya, adalah merupakan jihad. Statement semacam ini
antara lain didasarkan pada firman Allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا هَلْ
أَدُلُّكُمْ عَلَى تِجَارَةٍ تُنجِيكُم مِّنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ ,تُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ
وَأَنفُسِكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang
dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (Yaitu kamu beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang
lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui” (QS.61/Shaf:10-11).
Dengan
panafsiran sederhana terhadap ayat di atas dapat disimpulkan bahwa perniagaan
yang terbaik itu adalah iman kepada Allah dan Rasulnya dan berjihad di jalan
Allah.
Kata
“jihad” dalam berbagai bentuknya diulang sebanyak 41 kali dalam Al-Qur’an. Kata
tersebut berasal dari kata “al-juhdu” yang berarti kekuatan, kemampuan,
kesulitan dan kelelahan. Dengan demikian kata jihad bermakna upaya
sungguh-sungguh, mencakup: kekuatan, kemampuan, kesulitan dan kelelahan. Setiap
pelaksanaan jihad harus berhadapan dengan resiko, kesulitan, dan kelelahan
dalam pelaksanaannya.
Oleh
masyarakat kita, kata “jihad” seringkali diartikan sebagai perang di jalan
Allah, akan tetapi dalam pengertian lebih luas, setiap aktifitas dalam rangka
mentaati perintah Allah disamakan dengan jihad termasuk diantaranya melakukan
perniagaan atau perdagangan. Ada dua alasan mengapa perniagaan dapat dipandang
sebagai jihad, apabila perniagaan itu dijalankan dalam rangka memenuhi kepentingan
hidup orang banyak seperti industri makanan dan minuman. Terutama bagi mereka
yang menginginkan makanan yang halalan thayyiban tentu merasa sangat tertolong
dengan adanya usaha makanan dan minuman ini dapat menenangkan hati dan menghilangkan
syakwa sangka atas kehalalan makanan yang dikonsumsi.
Apalagi
Islam menggariskan bahwa orang paling baik adalah mereka yang paling banyak memberi
manfaat untuk orang lain. Sabda Rasulullah saw.: “Khairunnas anfa’uhum
linnas”, artinya: “sebaik-baik
orang adalah siapa yang paling bermanfaat bagi manusia lain”. Maka dengan
demikian, mengusahakan makanan yang halal agar memenuhi hajat orang banyak
menjadi alasan penting yang membuat usaha seseorang bisa disamakan dengan
jihad.
Selain
itu, usaha juga dapat disamakan dengan jihad apabila motivasi dilakukannya
usaha tersebut adalah dalam rangka ketaatan kepada Allah, seperti menerapkan
nilai-nilai ajaran islam dalam proses usaha dan ingin mendapatkan keuntungan
usaha agar bisa membela kebenaran dan menegakkan kemanusiaan.
Demikian
motifasi yang harus mendasari setiap usaha agar disamakan dengan jihad sehingga
dapat menghindarkan pelaksananya dari azab yang pedih.
Kultum 26 September 2009
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ
وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
MENEJEMEN KEHIDUPAN
Nilai
sebuah kehidupan itu terletak pada tujuan-tujuannya. Sebagaimana Islam telah menggariskan
bahwa tujuan hidup manusia diantaranya adalah :
1. Hidup
untuk beribadah kepada, sebagaimana firman Allah ta’ala:
“Dan aku tidak menciptakan jin dan
manusia kecuali untuk mempersembahkan ibadah kepadaku” (QS.
al-Dzariyat: 56).
2. Agar dapat mempersembahkan hidup dan aktifitasnya kepada
Allah sebagaimana firman Allah ta’ala: “Katakanlah
sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku kupersembahkan kepada Allah
Tuhan semesta alam” (QS. al-An’am:162)
3. Hidup untuk
mendapatkan keluarga yang bahagia, seperti do’a yang diajarkan dalam al-Qur’an:
“Tuhan jadikanlah kami orang yang berserah diri padamu, dan jadikanlah
kelurga kami keluarga yang menyenangkan” (QS.25/al-Furqan:74)
4. Agar menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain, sabda
Rasulullah saw: “sebaik-baik manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi
orang lain”.
Allah
swt telah menentukan kehidupan manusia ini dengan sebaik-baiknya sehingga tidak
mungkin manusia hidup dalam ke sia-siaan. Allah ta’ala telah berfirman :
وَخَلَقَ
كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا
“Dia telah
menciptakan segala sesuatu sesuai dan menetapkan ukuran-ukurannya dengan
serapi-rapinya” (QS.al-Furqan: 2)
Maka
oleh sebab itu, manusia diharapkan agar pandai memenej kehidupannya sehingga
klop dengan kebaikan yang ditaqdirkan Allah untuk manusia. Namun tanpa adanya
usaha dan kegigihan upaya maka mustahil manusia dapat meraih kebahagiaannya, sebab
firman Allah ta’ala: “Allah tidak akan merubah nasibmu sebelum kamu merubah
apa- apa yang ada pada dirimu” (QS. al-ra’d:11).
Berkat
rahmat Allah, manusia diberi kemampuan mengenali alam dan beradaptasi dengan lingkungannya,
dan disamping itu manusia diberi wewenang atau otoritas penuh untuk mengambil
keputusan atau memilih jalan hidup, sebagaimana Rasulullah saw bersabda: “Dirimulah
yang paling mengetahui tentang persoalan-persoalan duniamu” (Al-hadist).
Penyyerahan
ini dikarenakan manusia telah diberikan akal dan kemampuan berfikir kearah yang
baik. Dan dengan semakin baiknya ia mengatur atau memenej kehidupannya, maka akan
semakin sempurna hidupnya. Karena manajeman yang baik dalam suatu organisasi walaupun
kecil, bisa menyingkirkan organisasi kelas kakap tapi tidak menjalankan manajemen
yang baik.
Maka
untuk meraih cita-cita, seseorang hendaklah mengerahkan apa yang dimilikinya berupa
potensi spiritual dan material.
Potensi
spiritual, diantaranya adalah pertolongan Allah (ma’unah), petunjukNya
(hidayah), termasuk keyakinan agama (keimanan) yang merupakan potensi paling
besar pada manusia. Sedangkan potensi material diantaranya adalah ketersediaan dana
dan peralatan, sarana dan prasarana termasuk tenaga, pikiran, ilmu dan
pengalaman.
Dan
tidak kalah pentingnya adalah pemanfaatan waktu dengan maksimal dan tepat,
mendahulukan urusan paling pokok dan merincikannya dalam beberapa prioritas,
sehingga pemanfaatan waktu dapat lebih maksimal.
Kultum 27 September 2009
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ
وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
Daya Tarik Perusahaan Bernuansa Islam
Pada
prinsipnya sesuatu yang baik atau yang benar selalu akan menarik bagi manusia,
sebab fitrah manusia itu cenderung kepada kebaikan dan kebenaran. Upaya
sungguh-sungguh untuk menunjukkan kebaikan dan kebenaran, dilakukan orang dengan
berbagai cara dalam profesi atau bidang usaha yang mereka tekuni. Tidak jarang
mereka mempromosikan
kebaikan-kebaikan dan manfaat-manfaat produk yang mereka buat agar diminati
banyak orang. Secara tidak sengaja apa yang mereka usahakan itu dapat
disejajarkan dengan usaha-usaha amar
ma’ruf nahi munkar yang merupakan ajaran paling ditekankan dalam sistem
ajaran Islam.
Dalam
mempromosikan suatu produk perusahaan biasanya ditunjuk satu devisi dengan alokasi
dana yang besar. Bagi perusahaan yang bernuansa Islam masalah promosi juga
menjadi salah satu aspek yang harus terus menerus dikaji kesesuaiannya dengan
ajaran islam agar tetap efektif dan bisa menjadi sarana da’wah Islamiyah.
Paling tidak ada
tiga hal yang menjadi daya tarik perusahaan Islami yang harus tetap diupayakan.
Pertama, kesesuaian seluruh proses dan sistem perusahaan dengan syari’at Islam.
Kedua, daya tarik pelayanan yang diberikan oleh segenap insan perusahaan yang
cukup mengesankan. Ketiga, tampilan (performance) perusahaan baik
interior maupun eksteriornya.
Sebagaimana
diketahui bahwa Rasulullah SAW melakukan aktifitas perdagangan waktu mudanya,
setelah menjadi Rasul memiliki kemampuan bukan hanya menda’wahkan ajaran Islam,
tetapi juga memberi petunjuk praktis dalam berbagai aktifitas kehidupan
termasuk dalam hal promosi.
Dalam
suatu kesempatan, beliau menemukan seseorang yang menawarkan barang
dagangannya. Pada saat itu Rasul menemukan ada kejanggalan dalam cara orang
tersebut mempromosikan barang dagangannya, seperti yang diriwayatkan sebagai
berikut:
“Rasulullah
SAW lewat didepan seorang yang sedang menawarkan baju dagangannya. Orang itu jangkung
sedang baju yang ditawarkan pendek, kemudian Rasulullah bersabda: “Duduklah,
sesungguhnya kamu menawarkan dengan duduk itu lebih mudah mendatangkan rezeki” (HR.Thusi).
Hadits
diatas kelihatannya memberikan isyarat yang sangat menarik mengenai etika
promosi itu. Pertama, bahwa sebuah perusahaan islami dalam mempromosikan usahanya
harus memiliki daya tarik khusus. Dan hendaknya daya tarik itu harus mengacu
kepada kesesuaiannya dengan ajaran Islam yang diterjemahkan melalui bahasa yang
dapat dipahami oleh masyarakat. Kedua, daya tarik perlu dimunculkan dari sudut penampilan
tempat, baik interior maupun eksteriornya. Dalam hal ini yang dipertimbangkan
meliputi ke-thaharah-an, keindahan dan ketepatan. Hal lain yang sangat
mempengaruhi daya tarik perusahaan islami adalah daya tarik pelayanan.
Hal
ini menyangkut seluruh karyawan khususnya dan insan perusahaan pada umumnya,
bagaimana mereka memberi pelayanan kepada seluruh komponen yang terkait dengan
perusahaan.
Selain
melaksanakan berbagai hal yang terkait dengan daya tarik perusahaan, maka Islam
mengajarkan agar kita memperhatikan berbagai larangan dalam promosi, yaitu
promosi dengan tipu daya berupa promosi fiktif yang tidak sesuai dengan kenyataan,
dan eksploitasi wanita.
Kultum 28 September 2009
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ
وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
MENGGELORAKAN
VISI SOSIAL PERUSAHAAN ISLAMI
Dalam
perspektif Islam, setiap aktifitas yang diusahakan manusia hendaklah
dimaksudkan sebagai upaya peningkatan kesejahteraan dan ketenangan hidupnya dan
juga kesejahteraan dan ketenangan masyarakat secara luas.
Para
Rasul telah mencontohkan bagaimana suatu pekerjaan itu dilakukan untuk
kesejahteraan diri, keluarga, dan lingkungan masyarakat agar nantinya. Nabi
Dawud as. misalnya, bekerja sebagai penggembala kambing, untuk kesejahteraan
diri, keluarga, dan masyarakatnya. Begitu juga Nabi Muhammad SAW adalah contoh
yang sangat mengesankan bagaimana melakukan tugasnya sebagai pedagang untuk
kesejahteraan diri, keluarga, dan masyarakatnya. Jadi, suatu pekerjaan hendaklah
dilaksanakan dengan tiga motivasi.
1. Bekerja untuk
kesejahteraan diri dan keluarga.
2. Bekerja untuk
pengembangan masyarakat.
3. Suatu kerja
jangan sampai mendatangkan gangguan bagi orang lain atau masyarakat lain.
Sistem
masyarakat Islam dibangun berdasarkan visi Qur’an dan Sunnah yang
mempersepsikan masyarakat Islam ibarat masyarakat lebah, di mana aktifitasnya atau
kelompoknya tidak mengusik orang lain. Sebagaimana firman Allah: “Dan
Tuhanmu mengilhamkan kepada lebah, buatlah rumah-rumah (sarang) di
gunung-gunung dan di pohon-pohon dari apa yang dapat mereka jadikan atap” (QS.16/al-Nahl:158).
Ayat yang menggambarkan system masyarakat Islam ini mengisyaratkan
kepada kita bahwa suatu usaha atau pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang atau
sekelompok orang haruslah tidak mengganggu orang lain. Tidak boleh menimbulkan dampak
lingkungan menyangkut limbah, atau dampak sosial lainnya menyangkut gangguan
ketenangan dan suasana. Oleh sebab itu prilaku para pengelola dan karyawan,
secara pribadi maupun secara kelembagaan harus terjaga dari sifat negatif,
diantaranya prilaku angkuh dan tidak memperdulikan orang yang lemah dalam arti
kata tidak memperhatikan kesejahteraan mereka. Hal ini didasarkan antara lain
kepada firman Allah SWT : “Tahukah Engkau orang yang mendustakan
agama? Maka itulah orang yang menelantarkan anak yatim, dan tidak menyuruh
(manusia) memberi makan orang miskin” (QS.al-Ma’un:1-3).
Itulah
sebabnya Az-Zamakhsyari dalam tafsirnya memberikan penjelasan mengapa seseorang
yang menelantarkan anak yatim diidentikkan dengan mendustakan agama. Menurutnya
: Karena dalam sikap dan prilakunya dia mempertunjukkan bahwa dia tidak percaya
inti agama yang sejati, yaitu bahwa orang yang menolong sesamanya yang lemah
akan diberikan pahala dan ganjaran mulia oleh Allah.
Pengembangan
suatu masyarakat yang mungkin dapat dilakukan oelh suatu perusahaan islami
(melalui zakat, infaq dan sedekah atau bantuan konsultatif), antara lain:
1. Pemberdayaan
masyarakat melalui pemberian bantuan produktif dalam bentuk pemberian modal
kerja atau usaha untuk peningkatan kualitas kehidupannya.
2. Memberikan
bantuan konsumtif, terutama bagi mereka yang kurang mampu untuk berusaha dan
bekerja.
3. Bantuan juga
dapat dilakukan melalui bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat sekitar,
baik mengenai model dan proses perusahaan yang dikelola, maupun mengenai
penegakan nilai yang ditegakkan oleh perusahaan tersebut.
4. Bantuan lain
yang penting untuk dilakukan adalah penegakan sikap berislam untuk diterapkan
dan ditauladani oleh masyarakat sekitar, sehingga perusahaan islami bukan hanya
bertindak sebagai wadah pencarian keuntungan, melainkan juga dapat bertindak
sebagai sarana dakwah menegakkan kebenaran Islam ditengah masyarakat.
Kultum 29 September 2009
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ
وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
MENUMBUHKAN
KESETIAAN KEPADA ALLAH DALAM BEKERJA
Bagi
seorang muslim harus meyakini bahwa bekerja dengan keimanan akan membawa
sukses. Ada 2 prinsip yang digunakan dalam hal ini, Pertama,
keimanan kepada Allah haruslah mendasari setiap kerja dan usaha, sebab dengan
keiman kepada Allah SWT sebagai satu-satunya sumber pemberi rezeki kepada
manusia, dapat memberi garansi bagi keberhasilan kerja. Firman Allah: “Katakanlah,
siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi ? Katakanlah
“Allah”, dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik) pasti berada
dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata” (QS.34/ Saba’ : 24)
Cara berpikir kedua,
yang digunakan seorang muslim mengapa harus bekerja dengan keimanan, karena
dengan keimanan akan mendatangkan rezeki yang tidak hanya berbentuk materi tapi
juga non materi. Meski diakui rezqi non materi ini lebih tinggi, sebab banyak
orang yang bergumul dengan kemewahan materi, memperoleh gaji besar, tetapi
tidak jua mendatangkan ketenangan bagi diri dan keluarganya.
Dalam
hal ini Mutawalli Sya’rawi menjelaskan pula : “Perlu dipahami bahwa rezki tidak selalu berwujud harta benda dan
materi. Banyak orang hidup tentram, tenang dan damai tanpa itu. Ada yang mampu
membina keluarga yang harmonis, berhasil mendidik putra-putrinya, padahal bukan
kaum hartawan. Keberhasilan mereka bahkan mengagumkan dan menjadi buah bibir
yang lain. Sebenarnya itulah rezeki Allah yang tidak berwujud materi, tidak
berbentuk harta. Rezeki inilah yang sering jauh lebih tinggi nilainya”.
Sedemikian
pentingnya kaitan antara kesetiaan pada keimanan (keyakinan) dalam keberhasilan
seseorang dalam usaha-usahanya, maka akan muncul pertanyaan apakah orang yang
beriman maupun yang akan beriman dapat mempercayai hal tersebut?. Maka hal ini
mengacu pada Firman Allah, “tidak akan
dipaksa seseorang untuk meyakini dan menaati” (QS. Asy-Syu’ara : 3-4). Dan
firman Allah S. Asy-Syu’ara : 3-4: “ Boleh
jadi kamu (Muhammad) akan membinasakan dirimu karena mereka tidak beriman. Jika
kami menghendaki niscaya kami menurunkan kepada mereka mu’jizat dari langit,
sehingga senantiasa kuduk-kuduk mereka tunduk kepada-Nya”.
Dari firman diatas memperlihatkan bahwa kesetiaan
seseorang kepada Allah tidak bisa muncul atas dasar paksaan, tetapi karena hati
yang tunduk. Demikian pula halnya dengan keyakinan kita bahwa kesetiaan kepada
Allah dalam pekerjaan merupakan kunci keberhasilan, hendaknya muncul atas
kesadaran dan kerelaan, bukan paksaan.
Maka
ada 3 tahapan menuju keyakinan, Pertama, ‘ilmul
yaqin, yakni mencari informasi bahwa keimanan merupakan kunci keberhasilan,
baik dengan banyak membaca ayat dan hadis, maupun mendengar pendapat ulama
serta sejarah orang-orang saleh. Kedua, “ainul yaqin”. Yakni keyakinan
yang timbul setelah menyaksikan secara langsung bahwa orang yang mendapat
ketenangan dan kebahagiaan, serta kesuksesan dalam pekerjaan yang disebabkan
kesetiaannya pada keimanan. Dan terakhir “haqqul yaqin”, saat seorang
merasakan langsung bahwa dengan kesetiaannya pada keimanan telah membuatnya sukses,
tenang, dan bahagia.
Kultum 30 September 2009
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ
وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
MENGATASI TANTANGAN
KEHIDUPAN DENGAN SHALAT DAN SABAR
Sudah
merupakan takdir bagi seluruh manusia untuk menghadapi tantangan, cobaan,
kesulitan dan bahkan penderitaan dan kesengsaraan. Al – Qur'an mengisyaratkan
bahwa sabar dan shalat merupakan cara paling efektif dalam menghadapi cobaan
dan tantangan itu, sebagaimana firman Allah SWT: "Minta tolonglah kamu
kepada Allah dengan bersabar dan mengerjakan shalat; sesungguhnya shalat itu amat
berat kecuali bagi orang – orang yang khusyu'” (QS.Al–Baqarah/2:45)
Sabar
dan shalat sebagai suatu kesatuan yang tak terpisahkan, dan merupakan instrumen
paling efektif dari Allah untuk manusia
dalam menghadapi tantangan.
Di
dalam shalat, manusia terus menerus memohon pertolongan dari Allah sebagai
penguasa yang Maha Menentukan kejadian dalam kehidupan seseorang, karena shalat
itu sarat dengan rangkaian do’a sehingga memungkinkan seseorang mendapat
peluang dari Allah untuk selamat dari tantangan dan kesulitan yang dihadapinya.
Shalat memberi isyarat kepada seseorang bahwa ia tidak sendirian dalam hidupnya,
karena dia bersama orang-orang yang mengalami cobaan dengan bentuk yang sangat
beragam.
Sedangkan
sabar menumbuhkan kesadaran bagi diri manusia bahwa perjalanan hidup dengan
segala tantangan yang dihadapinya merupakan takdir dan bagian tak terpisahkan dari
setiap episode kehidupannya. Sehingga dengan kesabaran tersebut manusia
meyakini bahwa dirinya akan bertemu dengan Tuhannya suatu saat kelak dan inilah
makna khusyu’ seperti digambarkan pada surat Al – Baqarah ayat 45 diatas.
Sabar
dan shalat dapat menjadi energi yang mensupport manusia dalam menghadapi
tantangan – tantangan hidup mereka. Sehingga dengan demikian sabar dan shalat
menghadapi cobaan adalah sangat realistis meskipun amat sulit dilakukan
manusia.