Diberdayakan oleh Blogger.

Rabu, 30 Januari 2013

Kultum Ramadhon



Kultum 1 September 2009
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
Dasar diwajibakannya PUASA RAMADHAN (1)

Puasa Ramadhan itu hukumnya wajib, berdasarkan Kitab, Sunnah dan Ijma’. Dasar dari kitab adalah firman Allah Ta’ala yang artinya : “Hai orang-orang beriman, diwajibkan atasmu berpuasa sebagamana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, semoga kamu bertaqwa.” (Al-Baqarah: 183).
Dan firmanNya pula artinya : “Yakni pada bulan Ramadhan, yaitu saat diturunkannya Al-Qur’an yang menjadi petunjuk bagi manusia dan penjelasan dari pedoman serta pemisah - antara yang hak dan yang batal -. Maka barangsiapa yang berada di tempat pada bulan itu, hendaklah ia berpuasa!” (Al-Baqarah: 185).
Sedangkan menurut sunnah, Nabi s.a.w. bersabda :
“Didirikan Islam atas lima dasar, yaitu : mengaku bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan naik haji.”
Dan pada hadits Thalhah bin ‘Ubeidillah tersebut bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi saw  yang artinya : “Ya Rasulullah, katakanlah kepadaku puasa yang diwajibkan Allah atas diriku!” Ujar Nabi saw. : “Puasa Ramadhan.” Tanya laki-laki itu pula : “Apakah ada lagi yang wajib atasku ?” Ujar Nabi : “Tidak, kecuali kalau anda berpuasa sunat”.
Dan umat Islam telah ijma’ atas sekata atas wajibnya puasa Ramadhan, dan bahwa ia merupakan salah satu di antara rukun Islam. Hal itu dapat diketahui dari ajaran agama secara daruri dengan usah dipikirkan lagi, hingga orang yang mengingkarinya berarti kafir dan murtad dari Islam.
Mulai diwajibkannya, ialah pada hari Senin tanggal 2 Sya’ban tahun kedua hijriyah. Keutamaan Bulan Ramadhan Dan Keistimewaan Beramal Padanya diantaranya:
1.     Diterima dari Abu Hurairah bahwa Nabi s.a.w. bersabda : - yakni ketika telah datang bulan Ramadhan beliau bersabda yang artinya : “Sungguh, telah datang padamu bulan yang penuh berkah, di mana Allah mewajibkan kamu berpuasa, di saat dibuka pintu-pintu surga, ditutup pintu-pintu neraka dan dibelenggu setan-setan, dan dimana dijumpai suatu malam yang nilainya lebih berharga dari seribu malam. Maka barang siapa yang tidak berhasil beroleh kebaikannya, sungguh tiadalah ia akan mendapatkan itu buat selama-lamanya”. (Riwayat Ahmad, Nasa’i dan Baihaqi).

2.   Diterima dari ‘Arfajah, katanya: “Suatu ketika saya berada di rumah ‘Atabah bin Farqad - kebetulan ia sedang membicarakan puasa Ramadhan - kebetulan masuk seorang laki-laki, salah seorang sahabat Nabi s.a.w. Melihat laki-laki itu ‘Atabah menaruh hormat padanya dan diam. Tamu itupun menyampaikan hadits tentang Ramadhan, katanya : “Saya dengan Rasulullah s.a.w. bersabda mengenai Ramadhan yang artinya :  “Pada bulan itu ditutup pintu-pintu neraka, dibuka pintu-pintu surga dan dibelenggu setan-setan”.  Ulasnya lagi : “Dan seorang Malaikat akan berseru : “Hai pencinta kebaikan, bergembiralah ! Dan hai pencinta kejahatan, hentikanlah!” Sampai Ramadhan berakhir”. (Riwayat Ahmad dan Nasa’i dan sanadnya baik).

3.  Diterima dari Abu Hurairah bahwa Nabi s.a.w. bersabda yang artinya : “Shalat yang lima waktu, Jum’at ke Jum’at, dan Ramadhan ke Ramadhan berikutnya menghapuskan kesalahan-kesalahan yang terdapat di antara masing-masing selama kesalahan besar dijauhi”. (Riwayat Muslim).
Kultum 2 September 2009
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
Dasar diwajibakannya PUASA RAMADHAN (2)

Dan dalam hadits lain disebutkan tentang wajibnya puasa sebagai berikut:

4.  Dan dari Abu Sa’id al-Khudri r.a. bahwa Nabi s.a.w. bersabda yang artinya : “Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan dan mengetahui batas-batasnya, dan ia menjaga diri dari segala apa yang patut dijaga, dihapuskanlah dosanya yang sebelumnya.” (Riwayat Ahmad, Baihaqi dengan sanad yang baik).

5. Dan diterima dari Abu Hurairah, katanya : “Telah bersabda Rasulullah s.a.w. yang artinya:
“Siapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan karena keimanan dan mengharapkan keridhaan Allah, akan diampuni dosa-dosanya yang terdahulu.” (Riwayat Ahmad dan Ash-habus Sunan).

Ancaman Bagi Yang Berbuka tanpa ada alasan di Bulan Ramadhan:
1. Diterima dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda yang artinya : “Ikatan Islam dan sendi agama itu ada tiga, di atasnya didirikan Islam dan siapa yang meninggalkannya salahsatu di antaranya, berarti ia kafir terhadapnya dan halal darahnya : mengakui bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, shalat fardhu dan puasa Ramadhan.”
(Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan Dailami, serta dinyatakan sah oleh Dzahabi).

2. Diterima dari Abu Hurairah bahwa Nabi s.a.w. bersabda yang artinya : “Siapa yang berbuka pada satu hari dari bulan Ramadhan tanpa keringanan yang diberikan Allah padanya, tiadalah akan dapat dibayar oleh puasa sepanjang masa walau dilakukannya.” (Riwayat Abu Daud, Ibnu Majah dan Turmudzi).

Berkata Bukhari : “Ada pula disebutkan dari Abu Hurairah secara marfu’: “Siapa yang berbuka pada satu hari dari bulan Ramadhan tanpa ‘udzur atau sakit, maka tidaklah akan terbayar oleh puasa sepanjang masa walau dilakukannya.” Dan ini juga menjadi pendapat Ibnu Mas’ud. Berkata Dzahabi : “Dan bagi kaum Mukminin telah menjadi ketetapan bahwa orang yang meninggalkan puasa Ramadhan tanpa sakit, adalah lebih jelek dari pezina dan pemabuk, bahkan mereka diragukan keislamannya dan dincurigai sebagai zindik dan tanggal dari agamanya”.














Kultum 3 September 2009
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
Beberapa Hikmah Ramadhan

Berbahagialah kita yang diberi umur untuk menjumpai Bulan Ramadhan, Bulan penuh Rahmat, Ampunan dan Pembebasan dari Api Neraka. Berikut Hikmah Bulan Ramadhan dirangkum dari Hidayatullah. Com :
1.     Jalan menuju ketaqwaan. Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian puasa sebagaimana diwajibkan atas kaum sebelum kalian, agar kalian bertaqwa”. (al-Baqarah: 183). Dalam penafsiran Imam al-Qurthubi, yang berpatokan kepada hadits riwayat Imam Ahmad bahwa puasa itu adalah perisai. 
2.     Bulan peningkatan amal (mujahadah). Seperti para ulama’ salaf seperti Imam Asyafi’i, menyebutkan bahwa dalam bulan Ramadhan beliau menghatamkan Al-Quran 2 kali dalam semalam, dan itu dikerjakan di dalam shalat, sehingga dalam bulan Ramadhan beliau menghatamkan Al-Quran 60 kali dalam sebulan. Imam Abu Hanifah juga menghatamkan Al-Quran 2 kali dalam sehari selama Ramadhan.
3.     Menumbuhkan sifat amanah dan muraqabah di hadapan Allah Ta’ala, baik dengan amalan yang nampak maupun yang tersembunyi. Amalan seorang muslim didasari oleh kesadaran sendiri (mandiri) tidak ada yang mengawasi seseorang yang berpuasa.
4.     Melatih kedisiplinan karena seorang yang harus makan dan minum dalam waktu yang terbatas. Bahkan dalam berbuka puasapun harus disegerakan.
5.     Menumbuhkan rasa solidaritas sesama muslim karena semua umat Islam, dari timur hingga barat diwajibkan untuk menjalankan puasa. Sehingga sama-sama merasakan lapar dan dahaga dalam waktu yang sama dan dapat merasakan beratnya penderitaan saudara-saudaranya yang kekurangan, sehingga tumbuh perasaan kasih sayang pada mereka orang yang lemah.
6.     Melatih kesabaran, dimana pada siang hari kita diperintahkan meninggalkan perbuatan yang mengurangi nilai puasa. Maka saat ada seseorang mengganggu kita. Rasulullah Saw. bersabda: “Bila seseorang menghina atau mencacinya, hendaknya ia berkata “Sesungguhnya aku sedang puasa” (HR. Bukhari)
7.     Menjadi sehat sebagaimana Rasulullah bersabda: ”Berpuasalah, maka kamu akan sehat” (HR. Ibnu Sunni), Al Harits bin Kaldah, tabib Arab yang pernah mengabdi kepada Rasulullah Saw. juga pernah menyatakan: “Lambung adalah tempat tinggal penyakit dan sedikit makanan adalah obatnya”.
8.     Lailatul Qadar. Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al Muwatha’, dia telah mendengar seorang ahlul ilmi mengatakan: “Sesungguhnya telah diperlihatkan usia-usia umat sebelumnya kepada Rasulullah Saw., atau apa yang telah Allah kehendaki dari hal itu, dan sepertinya usia umat beliau tidak mampu menyamai amalan yang telah dicapai oleh umat-umat sebelumnya, karena itu maka Allah memberi ummat beliau Lailatul Qadar yang lebih baik daripada 1000 bulan.” (HR. Malik).
9.     Bulan ampunan, Rasulullah Saw. bersabda: “Dan siapa yang berpuasa Ramadhan dengan didasari keimanan dan pengharapan ridha Allah, diampunkan untuknya dosa yang telah lalu.” (HR. Bukhari).
10.   Terbebas dari adzab, Rasulullah Saw. bersabda: “Pada bulan Ramadhan umatku dianugerahi lima perkara yang tidak diberikan kepada nabi-nabi sebelumku. Yang pertama, sesungguhnya jika Allah melihat mereka di awal malam dari bulan Ramadhan, dan barang siapa yang telah dilihat Allah maka Ia tidak akan mengadzabnya selamanya…” (HR. Baihaqi).
Kultum 4 September 2009
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
 MEMBANGUN SUPREMASI HATI NURANI

 

Tujuan utama puasa Ramadhan adalah terciptanya manusia muttaqin sebagaimana firman Allah : “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian puasa sebagaimana diwajibkan atas kaum sebelum kalian, agar kalian bertaqwa”. (QS.2/al-Baqarah:183).
Manusia terdiri dari unsur jasmaniah dan rohaniah. Unsur rohaniah adalah unsur yang paling menentukan bagi keberhasilan kehidupan sesorang, karena semakin tinggi nilai kerohaniahan tersebut akan semakin sempurna kemanusiaannya, karena ia lebih mudah memimpin hati nuraninya kearah yang lebih baik.
Dalam al-Qur’an, Allah lebih banyak memanggil manusia dengan kata “insan” seperti dalam terdapat dalam kalimat “Ya ayyuhal insan”. Sehingga secara leterleks, kata “insan”  berarti sebutan pada manusia yang menunjukkan sikap yang masih adanya sifat-sifat yang rendah, kurang terpuji, kualitas kepribadian rendah dan lalai pada diri manusia. Maka ketika Allah menyebutkan kata insan, berarti sebutan itu adalah sebutan umum, bisa kepada manusia yang baik atau manusia yang jahat. Hanya yang membedakan manusia yang satu sama yang lainnya adalah hati. Semakin baik hatinya semakin sempurnalah kemanusiaannya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw : “Didalam diri manusia ada segumpal “daging” bila ia baik maka akan baiklah segala aktifitas manusia itu, dan bila ia buruk, maka akan buruklah segala prilaku manusia itu. Itulah hati” (al-Hadis).
Apabila hati nurani seseorang tidak berfungsi dalam menapaki jalan kehidupannya, seringkali prilakunya menjadi sangat rendah, yang menyebabkannya turun dari makhluk spiritual yang beradab menjadi manusia materialistik dengan segala kekacauan yang ditimbulkannya.
Kita tidak memungkiri berbagai keberhasilan dan keberkatan yang telah dianugerahkan Allah kepada bangsa Indonesia, hanyalah nikmat sementara, dan tanpa disengaja secara dramatis capaian pembangunan selama 30 tahun mengalami keguncangan akibat krisis yang dihadapi bangsa ktia, yang membuat seakan hasil pembangunan yang kita nikmati, tidak lagi dapat diandalkan.
Boleh saja kita menyebutkan berbagai faktor yang menyebabkannya, namun dalam pandangan Islam, pada umumnya problem krisis yang dihadapi suatu masyarakat yang mengalami krisis, termasuk masyarakat Indonesia, bermuara pada persoalan tidak berfungsinya hati nurani ditengah kehidupan sebagian besar anggota masyarakatnya.
Tidak berfungsinya hati nurani dapat mengakibatkan problema sosial di sana-sini, diantaranya  krisis akhlak dan etika dalam segenap aspek kehidupan, hilangnya etika politik, praktek kezhaliman di sana-sini, menyebabkan garis perjuangan sebagian masyarakat bergeser dari perjuangan untuk kesejahteraan rakyat menjadi perebutan kekuasaan untuk kepentingan kelompok.
Diabaikannya amanah yang kemudian dapat menyebabkan munculnya tindakan kolusi dan nepotisme. Sementara di kalangan intelektual dapat pula menyebabkan menggejalanya sikap mutathaffiFin, memproduk keputusan dan gagasan untuk kepentingan orang-orang dan kelompok tertentu saja, bukan untuk kemashlahatan umum.





Kultum 5 September 2009
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
PUASA MENGIKIS SIKAP INDIVIDUALISTIK

Sikap individualistik biasa terjadi di kota-kota besar, yang sering kita kenal dengan istilah “siapa lu  siap gue” yang ditandai dengan pudarnya rasa tolong menolong dan ketidak tulusan hati dalam memberi pertolongan.
Penyebabnya adalah dikarenakan hati nurani yang tidak berfungsi. Oleh karenanya seorang berbuat karena dimotivasi di luar hati nurani atau imitatif  misalnya “karena ada maunya”. Menolong  bukan karena hati nurani melainkan demi kepentingan yang diharapkan sebagai balasan. Sehingga akibatnya kehidupan masyarakat menjadi kehilangan berkah dari Allah ta’ala.
Keberkahan itu menurut Thabthaba’iy adalah khair al-ilahy (bersifat spiritual), yang biasa ditandai dari kehandalan generasi muda, tercapainya efisiensi dan efektifitas, kepemimpinan, dan kualitas pembangunan. Sebagaimana firman Allah : Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”. (QS.7/al-A’raf : 96).
Kehilangan keberkahan ditandai dengan ambruknya nilai-nilai dinamika perkembangan masyarakat. Terjadinya kepincangan-kepincangan sosial, maraknya perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum dan perampasan hak orang lain. Akhirnya timbullah kekacauan dan kehancuran dalam masyarakat.
Masyarakat perlu melakukan taubat dalam kehidupannya dengan cara pembangunan supremasi hati nurani. Salah satu beban berat yang mengganjal manusia yaitu dosa. Sebab dosa merupakan beban berat yang menghalangi manusia berubah kearah yang lebih baik. Sebagaimana sabda Rasulullah : “Seseorang jika melakukan kesalahan, akan ditorehkan titik hitam dalam hatinya. Namun jika ia sadar dan bertaubat, titik noda hitam tersebut akan dihilangkan” (al-Hadis).
Sering kita bertanya, mengapa sebagian masyarakat sulit diubah kearah yang baik, jawabannya sering kali mengedepankan soal sistem dan metodologi yang salah arah. Padahal boleh jadi disebabkan hati nurani yang tidak berfungsi karena ternoda dengan dosa yang seringkali juga menjadi dosa kelompok.
Untuk itu perlu dibangun kekuatan hati nurani agar tercipta masyarakat madani dengan memanfaatkan momentum puasa. Salah satu ibadah penting dalam ibadah puasa adalah taubat dalam arti kata kembali atau pulang ke jati diri sebagai manusia termulia yang diciptakan Allah. Sebab pada hakekatnya manusia muslim itu adalah sebaik-baik ummat diantara manusia lainnya. Firman Allah ta’ala yang artinya: “Kamu adalah sebaik-baik ummat yang diperuntukkan bagi segenap manusia”.










Kultum 6 September 2009
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
NUZULUL QUR’AN

Anugerah Ilahi yang terbesar kepada manusia adalah bahwa Allah telah mengajarkan manusia kitab Al-Qur’an. Sebagaimana firman Allah : “ Allah Maha Pengasih, yang telah mengajarkan Al-Qur’an” (Q.S. 55/al-Rahman : 1,2).
Dengan demikian, meskipun Al-Qur’an diterima oleh nabi Muhammad Saw dari Allah, namun peristiwa turunnya AL-Qur’an sangat dirasakan oleh beliau bersama para sahabat yang ‘arif bijaksana ketika itu. Bahkan sebenarnya Al-Qur’an tidak hanya merasuk ke dalam hati kaum muslimin generasi pertama dimasa Rasul, dan kaum muslimin dimasa kini. Bahkan peristiwa Al-Qur’an juga dirasakan oleh mereka yang ingin mencari kebenaran baik dari golongan muslim maupun non muslim.
Al-Qur’an telah memproklamirkan dirinya sebagai berikut:
1. Al-Qur’an menyebut dirinya sebagai penyembuh (syifa’un), ini mengisyaratkan bahwa ada kondisi kurang sehat sebelumnya sehingga perlu mendapatkan kesembuhan dari al-Qur’an. Baik itu disebabkan penyakit sosial yang dialami masyarakat secara luas, maupun penyakit pribadi secara rohani yang dialami seseorang.
2. Al-Quran menyebutkan bahwa dirinya adalah petunjuk bagi orang yang bertaqwa (hudan lil muttaqin), Kekeliruan manusia akan hilang bila ia mengikuti petunjuk al-Qur’an.
3. Dengan menyadari dua hal di atas, maka untuk menghayati nuzul al-Qur’an (momentum turunnya Al-Qur’an) dalam konteks zaman sekarang ini, berarti kembali meraih Laylatul Qadrsehingga memunculkan kesadaran yang tulus dari seseorang yang menemukannya.
Turunnya al-Qur’an secara garis besar mengajak manusia untuk menyadari delapan hal yaitu :
1.     Ketundukan Kepada Yang Maha Kuasa, yang teraplikasi dalam keimanan dan ketaqwaan.
2.     Perasaan, persamaan, kehormatan, dan persaudaraan umat manusia. Jadi integritas manusia dalam satu perasaan kesatuan tanpa memandang perbedaan ras, warna kulit, pangkat jabatan, atau status sosial lainnya.
3.     Tumbuhnya sikap toleransi dalam kehidupan yang majemuk.
4.     Kesamaan wanita dengan laki-laki dalam hal pelaksanaan amal ibadah.
5.     Pembebasan dari segala jenis perbudakan, kemiskinan dan eksploitasi.
6.     Kewajiban menegakkan keadilan.
7.     Menghancurkan kecongkakan dan kesombongan yang didasarkan pada superioritas ras, warna kulit, kekayaan, dan kekuasaan.
8.     Semuanya itu bisa terlaksana dengan dua syarat utama yaitu nilai pendidikan universal yang didasarkan pada penguasaan ilmu pengetahuan, dan ketundukan pada Yang Maha Kuasa.
Pokok-pokok ajaran yang dikedepankan Al-qur’an diatas tampaknya baru dapat dilaksanakan dalam tatanan kehidupan, apabila didasarkan pada tiga syarat pokok : (1). Penguasaan ilmu pengetahuan secara maksimal dengan fungsionalisasi akal. (2). Penegakan keadilan. (3). Ketundukan dan pendekatan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, dan ternyata ketiga syarat utama ini telah ditekankan Tuhan dalam ayat pertama surat al-’Alaq.





Kultum 7 September 2009
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
PUASA MEMBENTUK PRIBADI MUSLIM YANG HANDAL

Dalam sebuah hadis pernah dilukiskan Nabi bahwa iman seseorang masih barada dalam kondisi telanjang jika belum diberi pakaian. Sedangkan pakaian iman tersebut adalah ketaqwaan. Dilihat secara demikian maka pencapaian taqwa itu bukanlah sekedar penyempurna keimanan, melainkan sebagai bagian yang integral dari keimanan itu sendiri.
Kalau jalan pikiran ini diikuti, maka tugas kita dalam menjalankan ibadah puasa adalah menciptakan pakaian taqwa itu. Ibarat menenun pakaian, maka ibadah-ibadah yang kita lakukan bulan Ramadhan, adalah bagai pengumpulan benang-benang yang akan digunakan dalam menenun pakaian taqwa tersebut.
Selesai melaksanakan ibadah puasa boleh jadi hasil tenunan seseorang, akan lebih baik dan indah dari tenunan orang lain. Dan karena sesuatu dan lain hal boleh jadi tenunan seseorang tidak dapat diselesaikannya sampai akhir Ramadhan. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW : “Berapa banyak manusia yang tidak memperoleh apapun dari puasanya kecuali sekedar lapar dan haus”.
Benang-benang ketaqwaan kalau puasa diibaratkan bagai menenun pakaian taqwa, maka dapat dilihat benang-benang apa saja yang kita gunakan dan bagaimana kita  menggunakannya. Benang-benang tersebut antara lain :
·          Menahan diri (shiyam) dari segala tindakan-tindakan yang bertentangan dengan ketentuan agama akan memunculkan pengendalian diri, melahirkan kejujuran dan anti konsumerisme (tidak membeli diluar kemampuan) sehingga membuat seseorang hidup sederhana.
·          Kondisi lapar dan haus dengan segala konsekuensinya akan melahirkan rasa kepedulian sosial pasca Ramadhan.
·          Ibadah taraweh dan ibadah-ibadah lainnya akan meningkatkan keimanan dan ketauhidan seseorang.
·          Sahur dan buka puasa merupakan simbol dari kasih sayang. Kasih sayang sesama karena sama-sama dalam kondisi lapar dan sama-sama makan dengan tujuan yang sama. Juga merupakan simbol kasih sayang Tuhan. Sebagaimana hadis Nabi : “dalam sahur itu ada barkah dan Allah akan menyayangi mereka yang melakukan sahur”. Demikian juga dalam hadis Nabi yang lain disebutkan : “Barang siapa memberi bukaan kepada orang lain, ia akan mendapat pahala seperti orang yang berpuasa tanpa mengurangi sedikitpun pahalanya”.
·          Dengan kondisi lapar dan haus, seorang muslim tetap memiliki semangat untuk melakukan aktifitas sehari-hari. Ini merupakan simbol dari etos kerja dan kreatifitas seorang Muslim dan juga merupakan simbol daya tahan kaum beriman dari segala goncangan kehidupan. Dengan demikian puasa bukanlah merupakan ancaman bagi dunia kerja, melainkan merupakan upaya untuk peningkatan produktifitas umat Islam.








Kultum 8 September 2009
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
Puasa UNTUK MENEGASKAN Jati Diri Seorang Muslim di hadapan Tuhan

Terminologi yang digunakan Islam untuk menyebut kepribadian Muslim paripurna adalah muttaqin (orang yang bertaqwa), dan tampaknya taqwa itulah yang menjadi tujuan ibadah puasa. Seperti yang difirmankan Allah SWT dalam surat al-Baqarat 183 : “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan kepada kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, agar kamu menjadi orang yang bertaqwa” (QS. 2/al-Baqarah : 183).
Pada sisi lain puasa dapat pula dilihat sebagai hubungan manusia yang sangat pribadi dengan Tuhannya. Sebagaimana dalam sebuah hadis qudsi Rasulullah saw. menjelaskan :
Allah Yang Maha Mulia berfirman : “Setiap perbuatan manusia akan dilipatgandakan menjadi sepuluh kecuali amal puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang membalasnya. Puasa merupakan perisai. Jika salah seorang dari kamu sedang berpuasa hendaklah ia tidak berkata kotor dan berteriak keras (keras dan kasar). Jika ada orang yang mencaci atau mengajakmu bertengkar maka hendaklah dia menjawab : sesungguhnya aku sedang puasa, sesungguhnya aku sedang puasa” (Hadits)
Paling tidak ada tiga nuktah yang dapat dipelajari dari hadis di atas.
Pertama, puasa adalah hubungan manusia yang sangat pribadi dengan Allah, dan puasa adalah permintaan Allah untuk-Nya (as-shumu lii), maka oleh sebab itu puasa haruslah dilaksanakan dengan kualitas yang paling tinggi.
Kedua, puasa adalah merupakan perisai (proteksi) manusia dari segala godaan dan kecenderungan untuk berbuat salah dan melanggar perintah Allah SWT.
Ketiga, puasa adalah simbol dari penegasan jati diri dan eksistensi keislaman seseorang. Sebab bagaimanapun kondisinya seseorang itu tetap dapat menunjukkan jati dirinya sebagai seorang yang beriman.
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa puasa ramadhan merupakan arena pembinaan kepribadian muslim yang handal, sehingga ibadah puasa itu tetap relevan bagi ummat manusia disegala zaman bagaimanapun canggihnya.



















Kultum 9 September 2009
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
Pengertian I’TIKAF

I’tikaf adalah salah satu ibadah yang dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ibadah ini telah dicontohkan Rasulullah SAW sejak awal Islam, bahkan sebelumnya.
Ibadah I’tikaf dilakukan, selain untuk mengkonsentrasikan diri pada pendekatan diri kepada Allah, juga dilakukan dalam rangka perenungan tentang kualitas ibadah dan keberadaan manusia sebagai hamba Allah SWT.
Ibadah ini dilakukan biasanya pada fase yang disebut Nabi sebagai ‘itqun minan-nar (menghindarkan diri dari neraka), kira-kira sepuluh hari terakhir ramadhan. Meskipun Nabi Muhammad SAW juga melakukannya sejak sepuluh hari yang pertama, seperti diterangkan dalam salah satu riwayat yang menyebutkan: “Rasulullah melakukan i’tikaf pada sepuluh hari pertama di bulan Ramadhan, kemudian diteruskan pada sepuluh hari pertengahan di sebuah kubah turki. Biasanya beliau ambil tikar lalu dibawa ke sudut kubah. Setelah itu beliau mengeluarkan kepalanya sembari memanggil orang banyak, sehingga mereka mendekatinya. Kepada mereka beliau bersabda: “Sesungguhnya aku beri’tikaf pada sepuluh hari yang pertama untuk mencari malam kemuliaan (laylatul qadr). Kemudian aku teruskan pada sepuluh hari pertengahan. Setelah itu malaikat datang dan mengatakan kepadaku bahwa sesungguhnya malam kemuliaan itu ada pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Siapa yang ingin beri’tikaf maka lakukanlah”. Tak pelak lagi orang-orangpun secara serentak beri’tikaf bersama beliau” (al-Hadis)
I’tikaf dari sudut bahasa berarti berdiam diri, dan itu dapat dilakukan di mana saja. Tetapi menurut istilah Islam i’tikaf dimaksudkan sebagai berdiam diri di mesjid untuk beribadah kepada Allah SWT.
I’tikaf hukumnya sunat sepanjang waktu, terlebih-lebih setelah duapuluh hari Ramadhan. Namun ada juga yang bersifat wajib, yaitu bagi orang yang bernazar untuk melakukannya. Sabda Rasulullah SAW , dari A’isyah : “Rasulullah SAW melakukan I’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sampai beliau meninggal dunia” (HR. Bukhari dan Muslim).
Rukun i’tikaf meliputi : (1). Niat. Dengan membedakan antara niat i’tikaf sunat dengan i’tikaf nazar, (2). Berhenti dalam mesjid sekurang-kurangnya sekedar yang dinamakan berhenti, (3). Tidak mencampuri isteri jika sedang dalam i’tikaf. Firman Allah : “Janganlah kamu campuri mereka (istrimu) itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid”. (QS. al-Baqarah:187). Orang yang beri’tikaf juga disyaratkan tidak keluar dari mesjid dengan tidak ada ‘uzur (halangan).
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Kultum 10 September 2009
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
Tujuan I’tikaf dan Etika I’tikaf

Rasulullah SAW telah melakukan i’tikaf jauh sebelum beliau diangkat menjadi Rasul, pastinya ketika beliau sering berada di Gua Hira bertahannus kepada Allah. Di sini beliau mengkonsentrasikan ibadahnya kepada Allah SWT. dengan i’tikaf. Ternyata apa yang beliau lakukan dapat menghasilkan jiwa yang bersih dan hati yang jernih.
Sedangkan I’tikaf yang dilakukan Rasulullah saw setelah hijrah ke Madinah adalah untuk mencari keberkahan Lailatul Qadr.
Dari dua kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa i’tikaf dimaksudkan untuk mensucikan jiwa dan menjernihkan hari, serta untuk mencari malam kemuliaan (lailatul qadr).

Etika i’tikaf
Dalam melakukan i’tikaf terdapat beberapa etika seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW, : 
Pertama, kegiatan paling pokok yang dilakukan nabi Muhammad SAW ditempat i’tikafnya ialah : (1). Melakukan shalat sunat, (2). Membaca Al-Qur’an, (3). Berdzikir, dan (4). Lain-lain.
Kedua, Terkadang Rasulullah melakukan i’tikaf di kubah mesjid untuk menghindarkan dampak mengganggu orang yang sedang melakukan shalat. Beliau juga sering melakukannya di “Tiang Taubat”. Disebut tiang taubat karena pada zaman dahulu ada seseorang yang bernama Abu Lubabah yang jika merasa sudah melakukan suatu kesalahan pada Bani Quraid
hah atau kaum muslimin pada umumnya dia mengikat dirinya di tiang tersebut dan tidak boleh seorangpun melepaskannya kecuali Rasulullah SAW. Suatu saat dia bertaubat di tempat itu, dan taubatnya diterima Allah SWT. Sampai saat ini tempat itu diabadikan di sebuah dinding mesjid dengan sebutan tiang taubat, dan didekat tiang itulah Rasulullah biasa duduk beri’tikaf
Ketiga, Rasulullah masuk ke tempat i’tikaf setelah melakukan shalat subuh pada hari ke sebelas Ramadhan. Beliau tidak pernah meninggalkan i’tikaf kecuali ada alasan penting; karena bepergian, ke perang Badr atau ke Mekkah, dan lain-lain. Kalau i’tikafnya tinggal, dia mengkadhanya di bulan Syawal. Meskipun bukan wajib tetapi beliau selalu menekuninya sebagai ibadah rutin.
Keempat, dalam melakukan i’tikaf, Rasulullah tidaklah bersikap egois, tidak mengabaikan kepentingan-kepentingan isterinya. Rasulullah, meskipun dalam masa i’tikafnya, beliau tidak membatalkan tugas sosialnya seperti menjenguk orang sakit dan mengantar jenazah.
Kelima, Ketika i’tikaf berlangsung, Rasulullah SAW berusaha melepaskan diri dari segala hal  yang bersifat duniawi, dan tetap fokus pada pendekatan diri kepada Allah SWT.
Keenam, Rasulullah juga membangunkan keluarganya dari tidurnya untuk melakukan i’tikaf  setelah sepuluh hari yang terakhir Ramadhan.
Dari analisis di atas dapatlah disimpulkan bahwa i’tikaf merupakan ibadah yang dicontohkan Rasulullah SAW untuk membimbing manusia agar selalu mengupayakan kedekatannya kepada Allah SWT serta untuk mensucikan jiwa dan menjernihkan hati mereka dalam menjalani kehidupan.


Kultum 11 September 2009
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
PUASA RUHANIYAH DAN PUASA JASMANIAH

Esensi puasa bukan terletak pada jasmaniahnya, seperti tidak boleh makan, minum dan berhubungan seks di siang hari. Tapi puasa bersifat ruhani, karena ruh adalah milik Allah yang telah Allah berikan ke dalam tubuh jasmani Adam, maka oleh sebab itu Allah lebih mencintai ruhaniah daripada jasmaniah.
Maka kalau puasa sekadar tidak makan dan minum, maka itu adalah puasa jasmani sedangkan puasa ruhaniah itu merupakan rahasia sehingga hanya Allah saja yang mengetahuinya.
Keterangan Hadits tentang puasa kelihatan sangat lahiriah sebagaimana disebutkan: “Puasa itu tidak makan, tidak minum dan melakukan hubungan seks mulai dari fajar hingga terbenamnya matahari”. Akan tetapi  ada juga Hadits yang menjelaskan bahwa selama puasa orang tidak boleh berbuat rafats, fasik dan tidak boleh bertengkar. Ketiga larangan ini agaknya lebih mengarah kepada keruhanian. Jadi, puasa itu memiliki dua dimensi, jasmaniah (tidak makan, minum, seks) dan ruhaniah (tidak rafats, fasik, tidak bertengkar).
Rafats disini tidak diartikan secara lahiriah, yakni hanya berjima’. Tapi secara bahasa “rafatsa” artinya segala kecenderungan berbentuk seks atau syahwat yang berwujud fikiran, khayalan, keinginan, pandangan dan sebagainya.
Puasa jasmaniah itu kalau orang melanggarnya maka puasanya jadi batal seketika. Misalnya apabila seorang makan-minum dan melakukan hubungan seks pada siang hari maka jelas puasanya batal. Tapi kalau puasa ruhaniah, apabila orang melakukan kesalahan seperti menggunjing, berdusta, memfitnah, melihat yang haram maka puasa tidak batal melainkan rusak puasanya. Apakah Rusaknya 100%, 75%, 50% atau 25% tergantung penilaian Allah ta’ala. Kalau sudah rusaknya 100% puasanya sah tapi tidak memiliki nilai atau tidak menjadikan pelakunya menjadi orang yang bertaqwa.
Itulah sebabnya Nabi saw membedakan puasa dalam beberapa tingkatan.  Puasa awam, puasa khawash, dan puasa khawashul khawash sebagaimana dimaksudkan dalam sebuah Hadits Rasulullah. Puasa orang awam itu puasa yang tidak makan, tidak minum, dan menghindari seksualitas. Adapun puasa khawas terfokus pada puasa lahir dan puasa ruhaniah. Sedangkan khawashul khawash, puasa terfokus pada puasa lahir dan puasa ruhaniah ditambah tidak pernah meninggalkan dzikir dan selalu ingat pada Allah.
Puasa pada dasarnya adalah untuk menekan gejolak hawa nafsu. Sehingga dorongan-dorongan biologis itu bisa dilemahkan dan memberi kesempatan kepada kalbu itu untuk tumbuh besar, agar sifat-sifat ke-Allah-an yang ada dalam kalbu, termasuk keimanan dan moralitas, itu juga menjadi tumbuh dan berkembang. Jika sifat-sifat ke-Allah-an ini terpancar keluar maka akan menjadi akhlak yang baik atau akhlak sebagai hamba Allah.
Jasmani harus dilemahkan untuk memperlemah hawa nafsu ini, misalnya dengan tidak makan, tidak minum dan tidak melakukan hubungan seks di samping mengurangi tidur. Pada manusia itu terdapat empat hawa, yaitu hawa makan, hawa minum, hawa seks, dan hawa tidur. Semua ini harus dilemahkan sehingga ruhnya bisa berkembang. Ketika ruh berkembang, maka ruh akan selalu ingat pada Allah. Inilah yang saya maksud dengan puasanya khawashul khawash.




Kultum 12 September 2009
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
ibadah puasa SEBAGAI SARANA DZIKIR

Selama ini kita biasa mendengar bahwa shalat, zakat, puasa, atau haji sebagai perintah atau syariat yang harus dijalankan sebagai rukun Islam. Tidak sempurna keislaman seseorang bila mengingkari salah satu ibadah tersebut apalagi tidak menjalankannya. Namun tahukah kita bahwa keseluruhan ibadah-ibadah tersebut pada hakekatnya juga sebagai alat-alat atau sarana menuju dzikrullah seperti dalam surat Thaha ayat 14, Aqimishhalah lidzikri. Dirikan shalat untuk mengingat kepada-Ku. Sehingga sholat adalah sarana atau alat untuk mengingat Allah. Lalu dalam surat al-Hajj ayat 27 dan 28 juga menerangkan bahwa kalau manusia disuruh menunaikan ibadah haji, tapi panggilan haji itu dimaksudkan agar manusia berdzikir pada Allah. Kemudian puasa, untuk apa kita puasa? Lihat surat al-Baqarah ayat 183 yang mewajibkan kita untuk berpuasa, supaya apa? Supaya kita berTaqwa. Taqwa itu bukan diterjemahkan dengan “takut”. Taqwa berasal dari waqa yang artinya berjaga, bersiaga sehingga arti Taqwa menjadi senantiasa ingat pada Allah.
Begitupula dengan puasa. Apabila seseorang berpuasa maka lemahlah fisiknya karena makan dan minumnya berkurang, maka dengan demikian gejolak hawa itu juga melemah. Kalau gejolak hawa nafsu ini melemah maka kalbu berkembang. Jika kalbu berkembang, maka kalbu akan terhubung dengan Allah dan itulah Taqwa.
Zikir dalam bahasa Arab mempunyai dua arti. Pertama, artinya “menyebut” yang biasa disebut dengan zikir lisan. Kedua, artinya mengingat, mengenang, merasakan yang biasa disebut dengan dzikir qolbu. Jadi dzikir yang berulang-ulang tadi, dalam dunia sufi itu bukanlah dalam bentuk dzikir mulut tapi dzikir kalbu. Inilah esensi puncak dari semua ibadah. Kontak kalbu dengan Allah itu adalah dizkir, sementara sarananya adalah lewat shalat, zakat, puasa, dan haji.
Kalau dari tinjauan syari’at, kenikmatan berpuasa itu terletak pada saat berbuka dan saat idul fitri maka itu adalah puasa lahiriah, tapi bagi seorang sufi, puncak kenikmatan puasa itu ketika selama dalam berpuasa merasakan kedekatan hubungannya dengan Allah.
Mendekat kepada Allah tidak hanya dicapai dengan puasa Ramadhan saja, diluar ramadhan juga masih banyak upaya-upaya mendekatkan diri kepada Allah misalnya dengan banyak membaca al-Qur’an, menolong orang-orang sakit, memberi makan orang-orang miskin, berqurban dan sebagainya.
Tujuan setiap ibadah adalah kedekatan pada Allah ta’ala. Puasa yang kita lakukan bertujuan untuk mencapai kedekatan pada Allah. Kita harus menghargai puasa karena itulah jalan menuju kedekatan pada Allah.












Kultum 13 September 2009
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
puasa MENDIDIK MANUSIA BERAkhlak

Para ulama akhlak berbeda pendapat tentang akhlak pada diri manusia, apakah akhlak tersebut merupakan hasil pendidikan dan latihan ataukah sudah pembawaan sejak lahir. Sebagian prang berpendapat bahwa adakalanya orang bertingkah laku baik atau buruk karena pembawaannya sejak lahir dan itulah bibit dan bebet yang ada padanya, sehingga akhlak tidak lagi bisa dirubah dan diperbaiki. Pendapat ini adalah pemikiran Jabariah, sebuah aliran fatalisme dalam teologi Islam.
Sebagian besar ulama seperti Ibnu Maskawaih menentang pandangan di atas, jika pendapat itu diterima maka akan membuat orang akan mentolerir setiap tindak kezaliman dan kejahatan sebagai suatu yang lumrah sehingga tidak perlu upaya perbaikan. Sehingga tanpa nasehat dan pendidikan pun seseorang sudah seperti itu karena itu sudah menjadi kodratnya.
Pernyataan tersebut jelas sangat bertolak belakang dengan tujuan diutusnya Nabi kepada Manusia, sebab Rasulullah saw. bersabda: "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia".
Allah swt sangat menginginkan hamba-hambanya dalam keadaan baik dan terus menerus dalam kebaikan. Namun pada hakekatnya kebaikan seseorang itu tidak terlepas dari pendidikan akhlak dan keimanan yang ditanamkan kedua orang tuanya sejak kecil. Hal ini ditegaskan Rasulullah saw. dalam sabdanya : "Setiap anak dilahirkan dalam keadan fitrah (suci), maka ayah-ibunyalah membuatnya menjadi Yahudi (berakhlak Yahudi) atau Nasrani atau Majusi” (HR.Bukhari).
Dari uraian Hadits diatas nyatalah bagi kita bahwa manusia sejak lahirnya berpotensi pada kebaikan, namun jika orang tua kurang memperhatikan anaknya, potensi kebaikan itu bisa hilang dan bisa menjadi keburukan. Orang tua yang tidak bisa mendidik anaknya secara langsung harus menyerahkan anaknya kepada guru untuk dididik.
Kepada kaum muslimin, puasa juga berfungsi sebagai sarana pendidikan yang dapat membentuk pribadi seorang muslim menjadi berakhlak mulia. Semua kaum muslimin yang melaksanakan puasa pada hari cukup merasakan betapa pahitnya kehidupan orang-orang lemah yang kadang makan kadang tidak. Sehingga mucullah rasa kepedulian sosial yang tinggi, penuh kasih sayang kepada kaum dhuafa’ sehingga mereka banyak yang bershodaqoh dan membantu kebutuhan mereka. Apalagi Islam juga mewajibkan zakat fitrah pada bulan tersebut untuk kesempurnaan puasa.
Ramadhan adalah sarana pendidikan bagi pribadi muslim agar bisa memelihara syahwatnya.  Sebab Ramadhan ummat Islam diajarkan untuk menahan makan dan minum, juga menahan syahwat yang halal seperti kepada isterinya.
Berpuasa juga mengandung pengajaran untuk menjaga diri dari perbuatan keji dan mungkar. Sebagaimana Jabir bin Abdillah Radhiyallahu 'Anhu berkata: "Jika kamu berpuasa, hendaknya berpuasa pula pendengaranmu, penglihatanmu dan lisanmu dari dusta dan dosa-dosa, tinggalkan menyakiti tetangga, dan hendaknya kamu senantiasa bersikap tenang pada hari kamu berpuasa, jangan pula kamu jadikan hari berbukamu sama dengan hari kamu berpuasa".
Ramadhan juga mengajarkan agar seorang muslim menjaga makanan dari yang haram. Sebab tiada gunanya berpuasa kalau seorang muslim tidak menjaga kehalalan makanannya.
Dengan demikian jelaslah bahwa ramadhan merupakan sarana pendidikan bagi kaum muslimin untuk mencapai kemuliaan akhlak.
Kultum 14 September 2009
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
Marah dapat MENGurangi NILAI Puasa

Salah satu bidikan yang semestinya dihasilkan dari puasa adalah terkendalinya sifat-sifat negatif manusia. Salah satu sifat negatif yang potensial pada diri manusia adalah marah. Al-Qur’an menjelaskan menahan sikap marah adalah perbuatan yang disukai Allah sebagaimana firman Allah:
"(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan". (QS. 3/Ali-Imran:134)
Secara alamiah, orang yang berpuasa dilatih untuk mengendalikan sifat marahnya. Bahkan secara khusus Rasulullah mengajarkan kepada orang yang sedang berpuasa, bila ada yang mengajaknya bertengkar, maka sebaiknya ia menolak secara halus. Pertengkaran yang dimaksud ini bisa berupa adu mulut, lebih-lebih adu fisik.
Puasa adalah latihan mengendalikan hawa nafsu, tidak hanya nafsu makan dan nafsu-nafsu biologis lainnya, namun juga pengendalian nafsu-nafsu hayawaniyah lainnya seperti nafsu yang dilakukan oleh lisan, sebagaimana Rasulullah saw. bersabda : "Barang siapa tidak meninggalkan perkataan buruk, maka tidak ada keharusan bagi Allah untuk memperhatikan nilai dari makan dan minum yang ditinggalkannya." (HR. Al Bukhari)
Nabi saw. juga bersabda: "Puasa adalah perisai, bila suatu hari seseorang dari kamu berpuasa, hendaknya ia tidak berkata buruk dan berteriak-teriak. Bila seseorang menghina atau mencacinya, hendaknya ia berkata: Sesungguhnya aku sedang berpuasa". (HR. Al Bukhari, Muslim dan para penulis kitab Sunan)
Agar Allah memperhatikan puasanya, maka seseorang hendaklah memperhatikan hal-hal yang dapat mengikis nilai puasa, seperti menghindari perkataan yang salah dan buruk ditinjau dari sisi  adab, misalnya marah, menghina, berdusta, menggunjing, mengadu domba, mengolok-olok serta perkataan mengada-ada atau fitnah.
Marah adalah kesalahan yang dilakukan oleh lisan, yang dapat mengurangi nilai puasa. Maka sebelum melampiaskan nafsu amarah, seseorang dituntut untuk bersabar. Bila ia sedang berposisi tegak atau berdiri maka hendaklah ia duduk, jika ia dalam kondisi duduk hendaklah ia bertiarap atau segera pergi berwudhu.
Banyak marah dan emosi yang disebabkan oleh hal yang sepele padahal banyak cara yang dapat dilakukan untuk meluruskan sesuatu tanpa emosi. Puasa yang bersih adalah puasa yang dapat membuat pelakunya terpelihara dari perkataan yang keji dan kotor. Puasa yang bersih akan membuat jiwa tenang serta tidak emosional. Maka jika kita sedang diuji dengan seorang yang berbuat jahil atau berbuat salah janganlah dihadapi dengan tindakan ceroboh yang dapat mengurangi dan memperburuk nilai puasa. Akan tetapi hadapilah dengan penuh hikmah dan nasehat yang baik.

  







Kultum 15 September 2009
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
puasa menguatkan hubungan dengan allah

Puasa merupakan upaya penguatan tali hubungan dengan Allah (hablumninallah), yang diperoleh melalui pengasahan hati nurani, dan kasih sayang sesama manusia. Karena dalam puasa kita diajarkan agar melakukannya dengan tulus dan tidak dibuat-buat, sehingga akan melahirkan keyakinan yang kuat pada Allah yang Maha mengetahui ibadah puasa yang kita jalankan.
Kesadaran seperti itu secara otomatis akan mempererat hubungan dengan Allah sehingga Allah swt memperhatikan kesulitan para hambaNya, dan dan memberikan jalan keluar di balik kesulitan mereka. Sebagaimana firman Allah SWT. : “Sesungguhnya di balik kesulitan ada jalan keluar, dan dibalik kesulitan ada jalan keluar. Jika kamu selesai mengerjakan suatu pekerjaan, tanganilah pekerjaan lain secara sungguh-sungguh”. (QS. Al-Insyirah: 5-6)
Ayat diatas mengisyaratkan bahwa kesadaran hati nurani yang tumbuh pada diri seseorang membuatnya yakin bahwa Allah ta’ala senantiasa menolong atas setiap kesulitan. Oleh karenya tidak pantas bagi manusia itu mengeluh atas pekerjaan walau berat sekalipun, kalau ia yakin akan adanya pertolongan Allah.
Puasa adalah latihan yang dapat melahirkan etos kerja dan keikhlasan. Oleh sebab itu kesadaran dan kesungguhan dalam menjalankan ibadah tersebut perlu ditanamkan sehingga menumbuhkan keyakinan yang kuat pada Allah yang senantiasa menolong hambaNya.
Puasa yang sungguh-sungguh memungkinkan bagi diperolehnya keberkahan yang merupakan kebaikan dari Allah bagi umat manusia yang disayangiNya. Yakni mereka yang memiliki kesadaran spiritual yang tinggi dalam menjalankan puasa dan rangkaian ibadah yang disukai Allah dalam bulan puasa.
Puasa dapat membentuk hati nurani yang kuat dan kokoh, sehingga terbentuklah iklim sosial yang penuh kebersamaan dalam sebuah masyarakat. Dengan kebersamaan itu semua komponen masyarakat tumbuh rasa memilikinya dan masing-masing merasa perlu mengambil peran strategis dalam pembangunan. Rasulullah saw. menggambarkan bahwa kunci kemajuan suatu bangsa adalah apabila setiap komponen bangsa mengambil peran dalam pembangunan bangsa. Diantaranya adalah: Para penguasa yang merasa terpanggil untuk memimpin masyarakat dengan adil, para pedagang dan pengusaha yang menjalankan bisnisnya dengan jujur, para ulama dan kaum cendikiawan memberikan ilmunya dengan ikhlas, dan kaum dhuafa’ selalu berdo’a untuk pemimpinnya dan kemajuan bangsanya.













Kultum 16 September 2009
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
MAKNA ZAKAT FITRAH & PANDUAN MENGELUARKAN ZAKAT FITRAH

Zakat fithrah ialah zakat yang wajib disebabkan berbuka dari puasa Ramadhan. Hukumnya wajib atas setiap diri Muslimin, biar kecil atau dewasa, laki-laki atau wanita, budak belian atau merdeka. Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar r.a. katanya : “Rasulullah s.a.w. telah mewajibkan zakat fitrah dari Ramadhan sebanyak satu sukat dari kurma atau padi, atas hamba dan orang merdeka, laki-laki dan wanita, anak kecil dan orang dewasa dari kaum Muslimin”.
Zakat fithrah telah disyariatkan pada bulan Sya’ban tahun kedua hijriyah, hikmahnya ialah untuk mensucikan orang yang puasa dari perbuatan dan perkataan keji, dan untuk memberi makan orang-orang miskin membagi kebahagiaan kepada mereka. Berdasarkan hadits: “Rasulullah s.a.w. telah mewajibkan zakat fithrah untuk mensucikan orang yang puasa dari perkataan kosong dan perbuatan keji, dan sebagai pangan bagi orang-orang miskin.”
Menurut Tsauri, Ahmad, Ishak, dan Syafi’i dalam Al-Jadid, serta menurut satu berita juga dari Malik, waktu wajibnya itu, ialah ketika terbenamnya matahari, pada malam lebaran, karena saat itulah waktu berbuka puasa Ramadhan. Siapa yang membayarkannya sebelum shalat, maka itu merupakan zakat yang diterima, dan siapa yang membayarnya setelah shalat, maka itu hanya sedekah biasa.
Berkata Abu Sa’id al-Khudri: “Ketika Rasulullah s.a.w. masih berada di tengah kami, kami mengeluarkan zakat fithrah itu untuk setiap anak kecil, orang dewasa, merdeka ataupun budak, adalah satu sha’ makanan, satu sha’ keju, satu sha’ beras Belanda, satu sha’ kurma, atau satu sha’ anggur.
Bagi kita kaum muslimin di Indonesia bentuk zakatnya yang lazim adalah makanan pokok yakni beras seberat 2,5 atau 2,7 kg. Menurut Khalifah Umar bin Abd.Aziz dan Abu Hanifah membolehkan zakat dengan memberikan uang senilai beras diatas.
Tetapi menurut Abu Hanifah, Laits, Syafi’i dalam Al-Qadim dan menurut berita yang lain dari Malik, waktu wajibnya ialah tatkala terbit fajar dari hari lebaran.
Akibat pertikaian ini, akan menyangkut bayi yang lahir sebelum fajar hari lebaran, dan yang sesudah terbenam matahari, apakah wajib dikeluarkan fithrahnya atau tidak. Menurut golongan pertama, tidak wajib karena ia dilahirkan setelah waktu diwajibkan, sedang menurut golongan kedua, wajib, karena lahirnya sebelum waktu diwajibkan.
Menurut jumhur fuqaha, boleh memajukan pembayaran zakat fithrah sebelum hari raya agak sehari-dua. Berkata Ibnu Umar r.a. : “Kami dititah oleh Rasulullah s.a.w mengenai zakat fithrah, agar dibayarkan sebelum orang-orang keluar pergi shalat”.
Dan para Imam sependapat bahwa zakat-fithrah itu tidaklah gugur kewajibannya dengan mengundurkannya dari waktu wajib, tetapi menjadi utang yang menjadi tanggungjawabnya, sampai lunas dibayar walau hingga akhir usia. Mereka sepakat pula, bahwa tidak boleh menangguhkannya lewat dari hari lebaran, kecuali Ibnu Sirin dan Nakh’i yang kabarnya berpendapat boleh ditangguhkan dari hari lebaran itu. Dan berkata Ahmad : “Harapan saya bahwa itu tidak menjadi apa”.
Yang berhak menerima zakat fithrah itu, sama halnya dengan yang berhak menerima zakat, artinya fithrah itu hendaklah di bagikan kepada golongan yang delapan tersebut dalam ayat: “Hanya-sanya zakat itu adalah untuk orang-orang fakir”.


Kultum 17 September 2009
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
PENGERTIAN LAILATUL QADR
Di kalangan umat ini terdapat tradisi pemahaman (tentu juga berdasarkan nash) bahwa laylat al-qadr’ adalah malam penuh berkah dan rahmat, sehingga ia perlu dicari dan ditemukan. Bahkan ada yang berusaha menunggunya dengan berjaga sepanjang malam pada bulan Ramadhan, sembari terpikir di benaknya bahwa di antara tanda-tanda Lailatul Qadritu antara lain ‘hujan rintik-rintik’, ‘situasi malam yang dingin’, dan lain-lain.
Ditemukan suatu riwayat yang berkembang di kalangan umat itu, bahwa di satu saat di masa yang lampau pernah terjadi “pada suatu malam seseorang mengikat tali kudanya pada pohon kelapa yang sedang tumbang. Akan tetapi pagi harinya ia terperanjat melihat kudanya sudah tergantung pada pohon kelapa yang berdiri dengan kokohnya. Sebab pada malamnya pohon kelapa itu tumbang (bersujud di tanah), adalah dalam rangka menghormati Laylatul Qadryang sedang berlangsung”.
Riwayat lain juga menceritakan bahwa ada seseorang yang hendak berwudhu. Namun ia terkejut ketika menyaksikan air yang akan digunakan untuk wudhu berada dalam keadaan beku, sebagai isyarat bahwa saat itu Laylatul Qadrsedang berlangsung. Dan banyak lagi ceritera-ceritera yang berkembang di tengah masyarakat sekitar lailatul qadr itu.
Di tengah tradisi pemahaman tersebut, yang sangat menarik perhatian adalah bahwa tak seorang pun diantara umat ini yang dapat berkata bahwa ia telah menemukan/memperoleh malam yang berkah itu. Sehingga timbul kesan bahwa para ulama atau kiyai sajalah yang dapat memperolehnya.
Namun, ketika kita mencoba mempertanyakan kepada para ulama dan para kiyai kita yang terhormat (khususnya yang ada saat ini), tak satu pun diantara mereka yang dapat berkata bahwa malam berkah itu pernah ditemukannya.
Kalau demikian halnya, dimana sebetulnya Laylatul Qadritu ? mungkinkah ia misterius? Atau pemahaman kita yang tidak proporsional mengenainya ? Untuk itulah tampaknya kita perlu melakukan telaah ulang terhadap tradisi pemahaman mengenai Laylatul Qadrselama ini, agar umat tidak senantiasa berada dalam penantian yang tak berkesudahan.
Di kalangan umat Islam terdapat tiga visi mengenai (pengertian) Laylatul Qadr:
Pertama, Laylatul Qadrdiartikan sebagai ‘penetapan dan pengaturan’ jadi penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia. Demikian juga momentum turunnya Al-Qur’an merupakan penetapan strategi baru bagi nabi Muhammad Saw untuk merubah arah sejarah manusia.
Kedua, Laylatul Qadr diartikan sebagai ‘kemuliaan’ jadi malam tersebut adalah malam yang mulia, yang tiada taranya, merupakan titik tolak untuk memperoleh segala kemuliaan yang dapat diraih. Dan yang paling mengesankan di sini adalah isyarat Allah Swt bahwa bagi siapa saja yang ingin memperoleh kemuliaan dari-Nya, hendaknya diusahakan dengan gemar dan banyak membaca Al-Qur’an (dalam arti yang seluasnya). Itulah yang dikehendaki dengan kalimat iqra’ wa rabbuk al-akram (Bacalah, dan Tuhanmu Yang Maha Mulia). Di sini seakan Tuhan berkata, membacalah secara serius dan seluas-luasnya, sebab dengan demikian Allah akan membagi kemuliaan-Nya bagimu.
Ketiga, Laylatul Qadr diartikan sebagai ‘sempit’ karena banyaknya malaikat yang turun ke bumi mengiringi turunnya Al-Qur’an. Firman Allah tersebut (Q.S.97/al-Qadr:4).
Apabila dianalisis lebih filosofis, maka ketiga visi itu sama-sama benar, sebab malam itu merupakan batas strategi perjuangan Rasul dalam merubah arah sejarah manusia, di malam itu pula Muhammad dilantik menjadi Rasul yang mulia, dan pada malam itu pula malaikat turun memenuhi bumi untuk membawa ketenangan dan kedamaian.
Kultum 18 September 2009
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
IMSAK SOSIAL UNTUK KESELAMATAN BANGSA

Salah satu kelebihan manusia dari makhluk lain adalah kemampuannya berbicara berkat lidahnya untuk mengeluarkan statement (pernyataan) yang dapat ditangkap oleh orang atau kelompok lain, atau masyarakat di mana ia berada.
Namun perlu diingat bahwa kemampuan berbicara bagai pisau bermata dua; satu sisi ia dapat memberikan manfaat dan menciptakan keharmonisan sosial, pada sisi lain kemampuan berbicara dapat menciptakan kekacauan, kebingungan, dan memperumit masalah-masalah yang ada.
Sebelum menjalankan puasa ditandai dengan imsak atau menahan diri dari segala yang membatalkan puasa. Kata imsak dalam arti yang sebenarnya adalah menahan diri, termasuk menahan dari segala macam perbuatan, prilaku, dan perkataan yang tidak sesuai dengan tuntutan agama.
Dilihat secara demikian maka puasa ramadhan memiliki arti yang sangat strategis dalam upaya pemulihan masalah-masalah pribadi, masalah-masalah masyarakat, akibat demokrasi yang kebablasan, dimana setiap orang dapat mengeluarkan statement-statementnya secara bebas karena selama puluhan tahun “dibungkam”.
Sehingga seringkali pernyataan-pernyataan para politisi, para pemimpin, elit politik, tokoh organisasi, LSM, dan bahkan rakyat biasa yang tidak memperhitungkan etika berbicara sehingga cukup meresahkan karena tidak mendidik, dan tidak bersahabat, dan menjaga keutuhan bangsa Indonesia yang bhinneka tunggal ika.  
Itulah sebabnya Islam memberikan control yang sangat serius terhadap penggunaan lidah, sehingga selama puasa Ramadhan ajaran yang paling mengesankan didalamnya adalah mengenai keharusan menjaga, menahan atau mengendalikan diri (imsak) dari perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan yang tidak benar.
Bahkan Islam melihat bahwa menjaga lisan itu adalah bagian dan salah satu kriteria manusia beriman yang berhak mendapat keselamatan dan jalan keluar dari kesulitan yang dihadapinya sebagaimana firman Allah yang artinya: “Dan orang-orang yang tidak memberikan pernyataan-pernyataan (statement-statement ) palsu  (yang tak berdasar). Apabila mereka sedang melewati sesuatu yang sia-sia, mereka tetap menjaga kehormatan dirinya” (QS.25/al-Furqan:73).
Paling tidak ada dua hal yang dapat ditangkap dari ayat ini. Pertama, bahwa salah satu karakter seseorang yang pantas disebut beriman adalah kesediaannya untuk tidak sering mengeluarkan statement-statement palsu yang tak berdasar, tanpa dalil dan fakta. Kedua, dalam situasi yang kurang menguntungkan mereka selalu menjaga kehormatan diri dan keharmonisannya demi menjaga keutuhan masyarakat.
Statement-stetement palsu atau rekayasa politik dalam perspektif Islam dipandang sebagai fitnah yang tidak hanya akan mendatangkan kehancuran bagi orang atau kelompok yang zalim dan jahat, tetapi akan berakibat pada hilangnya keharmonisan berbangsa dan melemahkan sendi-sendi kebersamaan kita sebagai bangsa yang bersatu. Allah berfirman : “Jagalah dirimu dari bencana fitnah yang tidak hanya akan menimpa mereka yang jahat saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah keras sekali dalam menjatuhkan hukuman”. (QS.8/al-Anfal:25). Dan firman Allah pula : “Fitnah lebih jahat daripada pembunuhan” Demikian tertulis dalam Al-Qurán (QS.2/al-Baqarah:191).


Kultum 19 September 2009
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
MANUSIA TAQWA PENUH KE’ARIFAN

Dipenghujung puasa Ramadhan, orang yang beriman tampaknya perlu melakukan evaluasi dalam bentuk introspeksi diri, sejauh mana ia telah memasuki pintu gerbang kawasan ketaqwaan sebagai yang telah dijanjikan Tuhan (QS.2/al-Baqarah:183). Dari sekian banyak pengertian dan ciri ketaqwaan itu, disini ingin diketengahkan persoalan kearifan apakah sudah masuk kedalam hati dan prilaku kaum beriman. Abdullah Yusuf Ali menjelaskan paling tidak ada tiga pengertian ketaqwaan. Pertama, takut kepada Allah sebagai awal dari ke’arifan. Kedua, menjaga lidah, tangan dan hati dari perbuatan yang salah. Ketiga, Ketaatan dan kelakuan baik.
Salah saru makna ketaqwaan yang merupakan tujuan puasa Ramadhan adalah ke’arifan. Kata ‘arif (‘arif=Arab), terabadikan dalam bahaha Indonesia, seperti terlihat pada term arif bijaksana yang sering digunakan, disamping makna arif itu sendiri adalah komitmen pada kebenaran dan kemampuan melakukan kontrol terhadap diri sendiri.
Ke’arifan sebagai ciri manusia muttaqin itu dapat dilihat dalam empat bentuk :
Pertama, ke’arifan prediktif yaitu seorang yang telah melakukan puasa  dengan benar seyogianya sudah harus memilik visi yang jauh ke depan mengenai kehidupan yang hendak dibangunnya, sebab Tuhan sangat menganjurkannya (QS. al-Hasyir:18).
Kedua, Ke’arifan equilibrium, yakni ke’arifan untuk menciptakan keseimbangan dalam dirinya dan keluarganya, berupa keseimbangan intelektual dan hati nurani, individu dan masyarakat, jasmaniah dan rohaniah, serta dunia dan akhirat (QS.Al-Qashash:77).
Ketiga, Ke’arifan pluralitas, suatu ke’arifan dalam menghadapi perbedaan dengan penuh lapang dada, bahkan cara pandangnya terhadap orang yang berbeda visi, dan bahkan metodologis untuk mencapai kemajuan Islam. Orang beriman tidak boleh berpandangan merasa benar sendiri.
Keempat, Ke’arifan horizontal, yakni kepedulian terhadap mereka yang miskin dan berkekurangan. Tidak mementingkan diri sendiri melainkan santun terhadap masyarakat yang masih tertinggal, sebagai pelaksanaan dari tanggung jawabnya sebagai khalifah Tuhan. Kepedulian itu terutama yang berbentuk produktif dan peningkatan kualitas kaum yang lemah.
Dalam kehidupan kita sehari-hari kita perlu menjaga hubungan agar penuh kedamaian, jika tidak, maka kehinaan dalam arti luas akan menimpa kita. Kehinaan itu bisa terjadi dalam kehidupan keseharian didunia dan bisa pula dihadapan Tuhan kelak.
Kata hablun min al-nas dalam ayat diatas hendaknya tidak dipahami terbatas pada hubungan sesama manusia, tetapi juga dengan lingkungan hidup dalam arti  yang seluas-luasnya. Sebab, kehinaan yang diakibatkan terganggunya hubungan dengan lingkungan seringkali lebih fatal dan menyakitkan, semisal banjir dan kekeringan, yang semua ini seringkali mendatangkan penderitaan bagi rakyat kecil.
Oleh sebab itu Allah SWT berungkali menghimbau manusia agar segera memohon ampun atas segala dosa-dosanya kepada Allah. Dalam rangka upaya mencari ampunan dosa itu, Al-Qur’an menegaskan satu nuktah bahwa dosa seorang tidak dapat  ditebus oleh orang lain (QS.6/Al-An’am:164).
Dosa dan kesalahan kepada Allah Insya Allah akan terampuni jika  kita mohon ampun pada-Nya dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. Tetapi jenis dosa terhadap sesama melainkan harus langsung mohon maaf pada orang yang bersangkutan (selama bisa).

Kultum 20 September 2009
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
KESADARAN HATI SETELAH PUASA

Hati yang penuh kesadaran adalah hati nurani yang dapat memunculkan etos kerja dan keikhlasan yang yung muncul tanpa dipaksa.
Puasa dalam tingkat tertentu setidaknya dapat melahirkan etos kerja  baru bagi seorang muslim, sehingga dapat bekerja lebih ikhlas dan lebih sungguh-sungguh. Sebab puasa juga merupakan usaha-usaha sungguh-sungguh manusia agar dapat menggapai keberkahan, rahmat dan kebaikan Tuhan (khair al-Ilahy) dalam kehidupan dimasa yang akan dihadapi.
Begitulah, puasa Ramadhan hendaklah dapat melatih setiap individu orang-orang yang beriman, sehingga dapat mendukung kemajuan dirinya adalah hal yang teramat penting untuk direnungkan selepas usainya ibadah Ramadhan.
Sebab tanpa dimilikinya sikap pengendalian diri, etos kerja baru, keinginan untuk mengembangkan peningkatan kualitas dirinya, munculnya sikap self control yang merupakan faktor keunggulan kompetitif setiap orang yang beriman, maka puasa yang dilakukan belum menyentuh titik muttaqin. Untuk itu manusia harus dapat merenungi dan mengevaluasi diri dalam konteks pribadi sebagai upaya meningkatkan kualitas ibadah pada hari-hari selanjutnya.
Melepas Ramadhan bukan bukan berati melepas kewajiban. Sebab salah satu nilai yang sangat fundamental dalam setiap ibadah yang diperintahkan dalam Islam adalah munculnya semangat baru pelaku ibadah itu sehingga ia dapat memperbaiki kualitas kehidupan para pelakunya dimasa depan.
Dalam kaitannya dengan puasa Ramadhan, nilai kebaruan itu dapat dilihat dalam peran ibadah ini meningkatkan kualitas kerja umat Islam pasca Ramadhan.
Memang dalam Islam terdapat nuktah yang sangat mengesankan mengenai kebaruan, seperti terlihat umpamanya dalam berbagai petunjuk kitab suci dan pesan nabi Muhammad SAW “siapa yang harinya lebih baik dari kemarin dialah orang beruntung, siapa yang harinya lebih buruk dari kemarin dialah yang merugi”. (Hadits), “Bukanlah dikatakan berhari raya bagi siapa yang memakai serba baru, tetapi hari raya bagi yang keimanannya bertambah”. (HADITS)
Sabda Rasulullah saw. yang artinya: Dari Abi Hurairah (ia berkata), sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda: “Shaum/puasa itu ialah pada hari kamu berpuasa, dan (Idul) Fithri itu ialah pada hari KAMU BERBUKA. Dan (Idul) Adha (yakni hari raya menyembelih hewan-hewan korban) itu ialah pada hari kamu menyembelih hewan". (HR.Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Dan dalam salah satu lafadz Imam Daruquthni, Rasulullah saw. bersabda yang artinya : Puasa kamu ialah pada hari kamu (semuanya) berpuasa, dan (Idul) Fithri kamu ialah pada hari kamu (semuanya) berbuka". 
Hadits di atas dengan beberapa lafadznya tegas-tegas menyatakan bahwa Idul Fithri ialah hari raya kita kembali berbuka puasa (tidak berpuasa lagi setelah selama sebulan berpuasa). Oleh karena itu disunatkan makan terlebih dahulu pada pagi harinya, sebelum kita pergi ke tanah lapang untuk mendirikan shalat I'd. Supaya umat mengetahui bahwa Ramadhan telah selesai dan hari ini adalah hari kita berbuka bersama-sama. Itulah arti Idul Fithri secara bahasa.



Kultum 23 September 2009
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
PANDUAN MENGQADHA SHAUM RAMADHAN DAN PELAKSANAAN SHAUM SUNNAH ENAM HARI BULAN SYAWAL

1. Diriwayatkan dari Aisyah ra, ia berkata : “Adalah salah seorang diantara kami tidak shaum pada bulan Ramadhan pada zaman Rasulullah saw. maka ia tidak sanggup mengqadhanya (membayar shaum yang ditingalkan) sehingga datang bulan sya'ban (yakni pada bulan sya'ban baru bisa membayar shaumnya)”. ( HR. Muslim)

2. Barangsiapa yang mempunyai hutang shaum bulan Ramadhan, hendaklah segera diqadha (di bayar ) secepat mungkin jangan di tunda-tunda kecuali karena ada uzur dan terpaksa di tunda meskipun sampai bulan sya'ban.Diriwayatkan dari Aisyah ra. ia berkata : Adalah saya mempunyai hutang shaum bulan Ramadhan, saya tidak mampu membayarnya sampai datang bulan sya'ban. (HR. Bukhari)

3. Disunnahkan shaum enam hari pada bulan syawal dengan syarat shaum Ramadhannya sudah lengkap, tidak ada hutang. Diriwayatkan dari Abu Ayyub al-Anshariy ra: Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda : “Barang siapa yang shaum pada bulan Ramadhan, kemudian diikuti shaum enam hari pada bulan syawal adalah seperti shaum setahun penuh”. (HR. Muslim)
4. Pelaksanaan shaum enam hari pada bulan Syawal ini dapat dikerjakan secara berurutan (enam hari berturut-turut ) dan ini lebih utama. Juga boleh dikerjakan berselang-seling (tidak berurutan), yang penting pelaksanaanya adalah selama bulan Syawal.






















Kultum 24 September 2009
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
Optimisme dalam AJARAN Islam

Puasa merupakan simbol ketangguhan kaum beriman dari segala goncangan kehidupan. Dengan demikian puasa merupakan upaya melatih ketangguhan untuk mencapai kualitas umat Islam yang produktif.
Allah menggambarkan bahwa kehidupan manusia itu penuh dengan perjuangan, firman ALlah:
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي كَبَدٍ
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam kepenatan” (QS. al-Balad/90:4)
Dengan demikian dapat dimaklumi jika Allah memberikan penilaian yang tinggi kepada hamba-Nya yang bekerja-keras untuk kemashlahatan hidupnya, sebagaimana nabi Muhammad SAW bersabda, “Orang yang tertidur di malam hari setelah bekerja keras di siang hari, dia tersebut beristirahat dalam lindungan rahmat dan keampunan dari Ilahi Rabbi.” (HR. Thabrani).
Untuk itu Allah mengisyaratkan kepada manusia agar tidak lemah dan takut kesulitan pekerjaan. Karena dalam ketentuan Allah (sunnatullah) sesudah dihadapi kesulitan, akan datang kemudahan (QS.al-Insyarah 94:5-6).
Kadang kita sudah mempunyai rencana yang sudah diperhitungkan untung ruginya, tetapi suatu kesulitan di luar perhitungan kita bisa saja terjadi, maka dalam kondisi ini kita harus lebih yakin bahwa Allah akan memberikan kemudahan lebih banyak. Karena kesulitan merupakan suatu tantangan yang harus dihadapi agar mendapatkan kemudahan.
Karena seperti halnya shalat, dianjurkan agar dilaksanakan secara berjemaah yang merupakan pekerjaan yang sulit. Akan tetapi Allah memberikan nilai (derajat) yang lebih tinggi daripada sholat sendiri (fazzi). Semakin tinggi tingkat kesulitan semakin besar nilai yang diberikan. Semakin berat pekerjaan semakin besar nilai yang diberikan karena ia telah bekerja diluar kondisi normal.
Namun perlu digaris bawahi dalam upaya mengejar nilai lebih dalam hal kerja, juga harus diupayakan agar bekerja dengan memperhatikan kesungguh-sungguhan, efisien, produktif, dan optimis.
Optimisme dapat tumbuh bila bekerja dilandasi oleh motifasi antara lain :
1.     Bekerja dengan niat ibadah, sebab dengan demikian, seseorang bekerja mendapatkan penghasilan, dan dari penghasilan itu ia dapat dengan mudah melakukan sejumlah ibadah-ibadah yang butuh dukungan dana yang cukup, seperti memberi nafkah, sedeqah, zakat dan ibadah lainnya yang membutuhkan dana yang cukup.
2.     Kerja harus berkualitas, sebab semakin tinggi kualitas pekerjaan semakin tinggi pula nilai ibadahnya, semakin kecil resiko kerugian semakin baik kualitas pekerjaan.
3.     Meyakini bahwa dibalik kesulitan kerja pasti ada kemudahan dan jalan keluar.
4.     Perlu dilakukan perencanaan, untuk mendapatkan hasil yang sempurna. Semakin baik perencenaan semakin baik hasil yang akan diperoleh.




Kultum 25 September 2009
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
JIHAD MELALUI USAHA ADALAH LEBIH BAIK

 

Sebagai konsekuensi dari posisi manusia sebagai khalifah Allah di permukaan bumi, maka hidup manusia dengan sendirinya, adalah merupakan jihad. Statement semacam ini antara lain didasarkan pada firman Allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى تِجَارَةٍ تُنجِيكُم مِّنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ ,تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (Yaitu kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui” (QS.61/Shaf:10-11).
Dengan panafsiran sederhana terhadap ayat di atas dapat disimpulkan bahwa perniagaan yang terbaik itu adalah iman kepada Allah dan Rasulnya dan berjihad di jalan Allah.
Kata “jihad” dalam berbagai bentuknya diulang sebanyak 41 kali dalam Al-Qur’an. Kata tersebut berasal dari kata “al-juhdu” yang berarti kekuatan, kemampuan, kesulitan dan kelelahan. Dengan demikian kata jihad bermakna upaya sungguh-sungguh, mencakup: kekuatan, kemampuan, kesulitan dan kelelahan. Setiap pelaksanaan jihad harus berhadapan dengan resiko, kesulitan, dan kelelahan dalam pelaksanaannya.
Oleh masyarakat kita, kata “jihad” seringkali diartikan sebagai perang di jalan Allah, akan tetapi dalam pengertian lebih luas, setiap aktifitas dalam rangka mentaati perintah Allah disamakan dengan jihad termasuk diantaranya melakukan perniagaan atau perdagangan. Ada dua alasan mengapa perniagaan dapat dipandang sebagai jihad, apabila perniagaan itu dijalankan dalam rangka memenuhi kepentingan hidup orang banyak seperti industri makanan dan minuman. Terutama bagi mereka yang menginginkan makanan yang halalan thayyiban tentu merasa sangat tertolong dengan adanya usaha makanan dan minuman ini dapat menenangkan hati dan menghilangkan syakwa sangka atas kehalalan makanan yang dikonsumsi.
Apalagi Islam menggariskan bahwa orang paling baik adalah mereka yang paling banyak memberi manfaat untuk orang lain. Sabda Rasulullah saw.: “Khairunnas anfa’uhum linnas”, artinya:  “sebaik-baik orang adalah siapa yang paling bermanfaat bagi manusia lain”. Maka dengan demikian, mengusahakan makanan yang halal agar memenuhi hajat orang banyak menjadi alasan penting yang membuat usaha seseorang bisa disamakan dengan jihad.
Selain itu, usaha juga dapat disamakan dengan jihad apabila motivasi dilakukannya usaha tersebut adalah dalam rangka ketaatan kepada Allah, seperti menerapkan nilai-nilai ajaran islam dalam proses usaha dan ingin mendapatkan keuntungan usaha agar bisa membela kebenaran dan menegakkan kemanusiaan.
Demikian motifasi yang harus mendasari setiap usaha agar disamakan dengan jihad sehingga dapat menghindarkan pelaksananya dari azab yang pedih.


Kultum 26 September 2009
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
MENEJEMEN KEHIDUPAN

Nilai sebuah kehidupan itu terletak pada tujuan-tujuannya. Sebagaimana Islam telah menggariskan bahwa tujuan hidup manusia diantaranya adalah :
1. Hidup untuk beribadah kepada, sebagaimana firman Allah ta’ala:
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk mempersembahkan ibadah kepadaku” (QS. al-Dzariyat: 56).
2. Agar dapat mempersembahkan hidup dan aktifitasnya kepada Allah sebagaimana firman Allah ta’ala: “Katakanlah sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku kupersembahkan kepada Allah Tuhan semesta alam”  (QS. al-An’am:162)
3. Hidup untuk mendapatkan keluarga yang bahagia, seperti do’a yang diajarkan dalam al-Qur’an: “Tuhan jadikanlah kami orang yang berserah diri padamu, dan jadikanlah kelurga kami keluarga yang menyenangkan” (QS.25/al-Furqan:74)

4. Agar menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain, sabda Rasulullah saw: “sebaik-baik manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi orang lain”.

Allah swt telah menentukan kehidupan manusia ini dengan sebaik-baiknya sehingga tidak mungkin manusia hidup dalam ke sia-siaan. Allah ta’ala telah berfirman :
وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا
“Dia telah menciptakan segala sesuatu sesuai dan menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya”  (QS.al-Furqan: 2)
Maka oleh sebab itu, manusia diharapkan agar pandai memenej kehidupannya sehingga klop dengan kebaikan yang ditaqdirkan Allah untuk manusia. Namun tanpa adanya usaha dan kegigihan upaya maka mustahil manusia dapat meraih kebahagiaannya, sebab firman Allah ta’ala: “Allah tidak akan merubah nasibmu sebelum kamu merubah apa- apa yang ada pada dirimu” (QS. al-ra’d:11).
Berkat rahmat Allah, manusia diberi kemampuan mengenali alam dan beradaptasi dengan lingkungannya, dan disamping itu manusia diberi wewenang atau otoritas penuh untuk mengambil keputusan atau memilih jalan hidup, sebagaimana Rasulullah saw bersabda: “Dirimulah yang paling mengetahui tentang persoalan-persoalan duniamu” (Al-hadist).
Penyyerahan ini dikarenakan manusia telah diberikan akal dan kemampuan berfikir kearah yang baik. Dan dengan semakin baiknya ia mengatur atau memenej kehidupannya, maka akan semakin sempurna hidupnya. Karena manajeman yang baik dalam suatu organisasi walaupun kecil, bisa menyingkirkan organisasi kelas kakap tapi tidak menjalankan manajemen yang baik.
Maka untuk meraih cita-cita, seseorang hendaklah mengerahkan apa yang dimilikinya berupa potensi spiritual dan material.  
Potensi spiritual, diantaranya adalah pertolongan Allah (ma’unah), petunjukNya (hidayah), termasuk keyakinan agama (keimanan) yang merupakan potensi paling besar pada manusia. Sedangkan potensi material diantaranya adalah ketersediaan dana dan peralatan, sarana dan prasarana termasuk tenaga, pikiran, ilmu dan pengalaman.
Dan tidak kalah pentingnya adalah pemanfaatan waktu dengan maksimal dan tepat, mendahulukan urusan paling pokok dan merincikannya dalam beberapa prioritas, sehingga pemanfaatan waktu dapat lebih maksimal.
Kultum 27 September 2009
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
Daya Tarik Perusahaan Bernuansa Islam

Pada prinsipnya sesuatu yang baik atau yang benar selalu akan menarik bagi manusia, sebab fitrah manusia itu cenderung kepada kebaikan dan kebenaran. Upaya sungguh-sungguh untuk menunjukkan kebaikan dan kebenaran, dilakukan orang dengan berbagai cara dalam profesi atau bidang usaha yang mereka tekuni. Tidak jarang mereka mempromosikan kebaikan-kebaikan dan manfaat-manfaat produk yang mereka buat agar diminati banyak orang. Secara tidak sengaja apa yang mereka usahakan itu dapat disejajarkan dengan usaha-usaha amar ma’ruf nahi munkar yang merupakan ajaran paling ditekankan dalam sistem ajaran Islam.
Dalam mempromosikan suatu produk perusahaan biasanya ditunjuk satu devisi dengan alokasi dana yang besar. Bagi perusahaan yang bernuansa Islam masalah promosi juga menjadi salah satu aspek yang harus terus menerus dikaji kesesuaiannya dengan ajaran islam agar tetap efektif dan bisa menjadi sarana da’wah Islamiyah.
Paling tidak ada tiga hal yang menjadi daya tarik perusahaan Islami yang harus tetap diupayakan. Pertama, kesesuaian seluruh proses dan sistem perusahaan dengan syari’at Islam. Kedua, daya tarik pelayanan yang diberikan oleh segenap insan perusahaan yang cukup mengesankan. Ketiga, tampilan (performance) perusahaan baik interior maupun eksteriornya.
Sebagaimana diketahui bahwa Rasulullah SAW melakukan aktifitas perdagangan waktu mudanya, setelah menjadi Rasul memiliki kemampuan bukan hanya menda’wahkan ajaran Islam, tetapi juga memberi petunjuk praktis dalam berbagai aktifitas kehidupan termasuk dalam hal promosi.
Dalam suatu kesempatan, beliau menemukan seseorang yang menawarkan barang dagangannya. Pada saat itu Rasul menemukan ada kejanggalan dalam cara orang tersebut mempromosikan barang dagangannya, seperti yang diriwayatkan sebagai berikut:
“Rasulullah SAW lewat didepan seorang yang sedang menawarkan baju dagangannya. Orang itu jangkung sedang baju yang ditawarkan pendek, kemudian Rasulullah bersabda: “Duduklah, sesungguhnya kamu menawarkan dengan duduk itu lebih mudah mendatangkan rezeki” (HR.Thusi).
Hadits diatas kelihatannya memberikan isyarat yang sangat menarik mengenai etika promosi itu. Pertama, bahwa sebuah perusahaan islami dalam mempromosikan usahanya harus memiliki daya tarik khusus. Dan hendaknya daya tarik itu harus mengacu kepada kesesuaiannya dengan ajaran Islam yang diterjemahkan melalui bahasa yang dapat dipahami oleh masyarakat. Kedua, daya tarik perlu dimunculkan dari sudut penampilan tempat, baik interior maupun eksteriornya. Dalam hal ini yang dipertimbangkan meliputi ke-thaharah-an, keindahan dan ketepatan. Hal lain yang sangat mempengaruhi daya tarik perusahaan islami adalah daya tarik pelayanan.
Hal ini menyangkut seluruh karyawan khususnya dan insan perusahaan pada umumnya, bagaimana mereka memberi pelayanan kepada seluruh komponen yang terkait dengan perusahaan.
Selain melaksanakan berbagai hal yang terkait dengan daya tarik perusahaan, maka Islam mengajarkan agar kita memperhatikan berbagai larangan dalam promosi, yaitu promosi dengan tipu daya berupa promosi fiktif yang tidak sesuai dengan kenyataan, dan eksploitasi wanita.

Kultum 28 September 2009
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
MENGGELORAKAN VISI SOSIAL PERUSAHAAN ISLAMI
Dalam perspektif Islam, setiap aktifitas yang diusahakan manusia hendaklah dimaksudkan sebagai upaya peningkatan kesejahteraan dan ketenangan hidupnya dan juga kesejahteraan dan ketenangan masyarakat secara luas.
Para Rasul telah mencontohkan bagaimana suatu pekerjaan itu dilakukan untuk kesejahteraan diri, keluarga, dan lingkungan masyarakat agar nantinya. Nabi Dawud as. misalnya, bekerja sebagai penggembala kambing, untuk kesejahteraan diri, keluarga, dan masyarakatnya. Begitu juga Nabi Muhammad SAW adalah contoh yang sangat mengesankan bagaimana melakukan tugasnya sebagai pedagang untuk kesejahteraan diri, keluarga, dan masyarakatnya. Jadi, suatu pekerjaan hendaklah dilaksanakan dengan tiga motivasi.
1. Bekerja untuk kesejahteraan diri dan keluarga.
2. Bekerja untuk pengembangan masyarakat.
3. Suatu kerja jangan sampai mendatangkan gangguan bagi orang lain atau masyarakat lain.
Sistem masyarakat Islam dibangun berdasarkan visi Qur’an dan Sunnah yang mempersepsikan masyarakat Islam ibarat masyarakat lebah, di mana aktifitasnya atau kelompoknya tidak mengusik orang lain. Sebagaimana firman Allah: “Dan Tuhanmu mengilhamkan kepada lebah, buatlah rumah-rumah (sarang) di gunung-gunung dan di pohon-pohon dari apa yang dapat mereka jadikan atap” (QS.16/al-Nahl:158). Ayat yang menggambarkan system masyarakat Islam ini mengisyaratkan kepada kita bahwa suatu usaha atau pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang haruslah tidak mengganggu orang lain. Tidak boleh menimbulkan dampak lingkungan menyangkut limbah, atau dampak sosial lainnya menyangkut gangguan ketenangan dan suasana. Oleh sebab itu prilaku para pengelola dan karyawan, secara pribadi maupun secara kelembagaan harus terjaga dari sifat negatif, diantaranya prilaku angkuh dan tidak memperdulikan orang yang lemah dalam arti kata tidak memperhatikan kesejahteraan mereka. Hal ini didasarkan antara lain kepada firman Allah SWT : “Tahukah Engkau orang yang mendustakan agama? Maka itulah orang yang menelantarkan anak yatim, dan tidak menyuruh (manusia) memberi makan orang miskin” (QS.al-Ma’un:1-3).
Itulah sebabnya Az-Zamakhsyari dalam tafsirnya memberikan penjelasan mengapa seseorang yang menelantarkan anak yatim diidentikkan dengan mendustakan agama. Menurutnya : Karena dalam sikap dan prilakunya dia mempertunjukkan bahwa dia tidak percaya inti agama yang sejati, yaitu bahwa orang yang menolong sesamanya yang lemah akan diberikan pahala dan ganjaran mulia oleh Allah.
Pengembangan suatu masyarakat yang mungkin dapat dilakukan oelh suatu perusahaan islami (melalui zakat, infaq dan sedekah atau bantuan konsultatif), antara lain:
1. Pemberdayaan masyarakat melalui pemberian bantuan produktif dalam bentuk pemberian modal kerja atau usaha untuk peningkatan kualitas kehidupannya.
2. Memberikan bantuan konsumtif, terutama bagi mereka yang kurang mampu untuk berusaha dan bekerja.
3. Bantuan juga dapat dilakukan melalui bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat sekitar, baik mengenai model dan proses perusahaan yang dikelola, maupun mengenai penegakan nilai yang ditegakkan oleh perusahaan tersebut.
4. Bantuan lain yang penting untuk dilakukan adalah penegakan sikap berislam untuk diterapkan dan ditauladani oleh masyarakat sekitar, sehingga perusahaan islami bukan hanya bertindak sebagai wadah pencarian keuntungan, melainkan juga dapat bertindak sebagai sarana dakwah menegakkan kebenaran Islam ditengah masyarakat.
Kultum 29 September 2009
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
MENUMBUHKAN KESETIAAN KEPADA ALLAH DALAM BEKERJA

Bagi seorang muslim harus meyakini bahwa bekerja dengan keimanan akan membawa sukses. Ada 2 prinsip yang digunakan dalam hal ini, Pertama, keimanan kepada Allah haruslah mendasari setiap kerja dan usaha, sebab dengan keiman kepada Allah SWT sebagai satu-satunya sumber pemberi rezeki kepada manusia, dapat memberi garansi bagi keberhasilan kerja. Firman Allah:  “Katakanlah, siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi ? Katakanlah “Allah”, dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik) pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata” (QS.34/ Saba’ : 24)
Cara berpikir kedua, yang digunakan seorang muslim mengapa harus bekerja dengan keimanan, karena dengan keimanan akan mendatangkan rezeki yang tidak hanya berbentuk materi tapi juga non materi. Meski diakui rezqi non materi ini lebih tinggi, sebab banyak orang yang bergumul dengan kemewahan materi, memperoleh gaji besar, tetapi tidak jua mendatangkan ketenangan bagi diri dan keluarganya.
Dalam hal ini Mutawalli Sya’rawi menjelaskan pula : “Perlu dipahami bahwa rezki tidak selalu berwujud harta benda dan materi. Banyak orang hidup tentram, tenang dan damai tanpa itu. Ada yang mampu membina keluarga yang harmonis, berhasil mendidik putra-putrinya, padahal bukan kaum hartawan. Keberhasilan mereka bahkan mengagumkan dan menjadi buah bibir yang lain. Sebenarnya itulah rezeki Allah yang tidak berwujud materi, tidak berbentuk harta. Rezeki inilah yang sering jauh lebih tinggi nilainya”.
Sedemikian pentingnya kaitan antara kesetiaan pada keimanan (keyakinan) dalam keberhasilan seseorang dalam usaha-usahanya, maka akan muncul pertanyaan apakah orang yang beriman maupun yang akan beriman dapat mempercayai hal tersebut?. Maka hal ini mengacu pada Firman Allah, “tidak akan dipaksa seseorang untuk meyakini dan menaati” (QS. Asy-Syu’ara : 3-4). Dan firman Allah S. Asy-Syu’ara : 3-4: “ Boleh jadi kamu (Muhammad) akan membinasakan dirimu karena mereka tidak beriman. Jika kami menghendaki niscaya kami menurunkan kepada mereka mu’jizat dari langit, sehingga senantiasa kuduk-kuduk mereka tunduk kepada-Nya”.
Dari firman diatas memperlihatkan bahwa kesetiaan seseorang kepada Allah tidak bisa muncul atas dasar paksaan, tetapi karena hati yang tunduk. Demikian pula halnya dengan keyakinan kita bahwa kesetiaan kepada Allah dalam pekerjaan merupakan kunci keberhasilan, hendaknya muncul atas kesadaran dan kerelaan, bukan paksaan.
Maka ada 3 tahapan menuju keyakinan, Pertama, ‘ilmul yaqin, yakni mencari informasi bahwa keimanan merupakan kunci keberhasilan, baik dengan banyak membaca ayat dan hadis, maupun mendengar pendapat ulama serta sejarah orang-orang saleh. Kedua, “ainul yaqin”. Yakni keyakinan yang timbul setelah menyaksikan secara langsung bahwa orang yang mendapat ketenangan dan kebahagiaan, serta kesuksesan dalam pekerjaan yang disebabkan kesetiaannya pada keimanan. Dan terakhir “haqqul yaqin”, saat seorang merasakan langsung bahwa dengan kesetiaannya pada keimanan telah membuatnya sukses, tenang, dan bahagia.






Kultum 30 September 2009
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
MENGATASI TANTANGAN KEHIDUPAN DENGAN SHALAT DAN SABAR

Sudah merupakan takdir bagi seluruh manusia untuk menghadapi tantangan, cobaan, kesulitan dan bahkan penderitaan dan kesengsaraan. Al – Qur'an mengisyaratkan bahwa sabar dan shalat merupakan cara paling efektif dalam menghadapi cobaan dan tantangan itu, sebagaimana firman Allah SWT: "Minta tolonglah kamu kepada Allah dengan bersabar dan mengerjakan shalat; sesungguhnya shalat itu amat berat kecuali bagi orang – orang yang khusyu'” (QS.Al–Baqarah/2:45)
Sabar dan shalat sebagai suatu kesatuan yang tak terpisahkan, dan merupakan instrumen paling efektif  dari Allah untuk manusia dalam menghadapi tantangan.
Di dalam shalat, manusia terus menerus memohon pertolongan dari Allah sebagai penguasa yang Maha Menentukan kejadian dalam kehidupan seseorang, karena shalat itu sarat dengan rangkaian do’a sehingga memungkinkan seseorang mendapat peluang dari Allah untuk selamat dari tantangan dan kesulitan yang dihadapinya. Shalat memberi isyarat kepada seseorang bahwa ia tidak sendirian dalam hidupnya, karena dia bersama orang-orang yang mengalami cobaan dengan bentuk yang sangat beragam.
Sedangkan sabar menumbuhkan kesadaran bagi diri manusia bahwa perjalanan hidup dengan segala tantangan yang dihadapinya merupakan takdir dan bagian tak terpisahkan dari setiap episode kehidupannya. Sehingga dengan kesabaran tersebut manusia meyakini bahwa dirinya akan bertemu dengan Tuhannya suatu saat kelak dan inilah makna khusyu’ seperti digambarkan pada surat Al – Baqarah ayat 45 diatas.
Sabar dan shalat dapat menjadi energi yang mensupport manusia dalam menghadapi tantangan – tantangan hidup mereka. Sehingga dengan demikian sabar dan shalat menghadapi cobaan adalah sangat realistis meskipun amat sulit dilakukan manusia.